REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin mengaku pembahasan penyatuan kalender Hijriah dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI ke-9 pekan lalu harus diundur. Pengunduran itu dikarenakan belum ditemukan pola-pola kesamaan.
"Belum ada kesamaan sehingga pembahasannya harus diundur, tidak dibahas di Munas," kata Kiai Ma'ruf ketika dihubungi ROL, Selasa (1/9). Menurutnya, ada pihak yang belum setuju dengan konsep yang diajukan dalam Munas.
Kiai Ma'ruf menjelaskan, saat ini Muhammadiyah menggunakan metode wujudul hilal. Metode tersebut menekankan jika telah melewati konjungsi dan bulan sudah berada di atas ufuk usai matahari terbenam maka dianggap masuk bulan baru.
Sedangkan ormas Islam lain, ujar Ma'ruf menerima konsep imkanur rukyat. Artinya, terdapat kriteria bulan sudah mencapai ketinggian minimal dua derajat untuk ditentukan sebagai bulan baru. "Nah disini yang masih belum ketemu," ujar Ma'ruf.
Konsep MUI berdasarkan keputusan bersama ormas Islam pada 2004 merujuk pada pendekatan imkanur rukyat. Hal itu dinilai Ma'ruf memadukan metode hisab dan rukyat. Dalam metode imkanur rukyat, jika bulan berada lebih dari dua derajat di atas ufuk maka dinilai sudah masuk bulan baru meski tidak perlu dirukyat. Hal ini, perlu ditetapkan pemerintah melalui Kementerian Agama.
Kiai Ma'ruf mengatakan agar seluruh ormas Islam di Indonesia sepakat perlu dicari formula yang sama. MUI akan berupaya mendorong dan mencari jalan keluarnya.