REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berjualan dengan sistem Multi Level Marketing (MLM) punya tawaran menggiurkan. Mulai dari bonus, potongan harga barang, hingga hadiah-hadiah lainnya. Pantas saja, anggota MLM sangat militan dalam memasarkan produk-produknya. Namun, bagaimanakah tinjauan hukum fiqhnya dengan model jual beli demikian?
Lajnah Fatwa Al-Azhar Mesir memandang sistem jual beli yang diterapkan MLM sah-sah saja. Mereka menyamakan sistem ini dengan samsarah (perantara antara penjual dan pembeli/calo). Berikut cara kerja MLM yang diperbolehkan lajnah Fatwa Al-Azhar tersebut.
Pada saat pembelian produk, pembeli memperoleh program atau dapat menjualnya kembali. Selain itu, dia mendapat kesempatan untuk bergabung dalam jaringan untuk meraih keuntungan dengan cara memasarkan barang kepada orang-orang terdekat.
Karena dia telah berusaha meyakinkan pihak lain untuk membeli produk dan juga telah membeli produk dan juga dia melatih orang-orang yang membeli produk melaluinya untuk menggunakan produk dan memasarkan ke pihak lain.
Pada saat ia mendapatkan sembilan orang pembeli produk baik langsung maupun tidak, dengan syarat dua orang pembeli produk langsung melaluinya maka perusahaan akan memberikan bonus sebagai motivasi agar terus memasarkan produk dan dia akan terus menerima bonus selama orang membeli produk melalui jaringannya.
Jadi, bonus yang diterima sebagai imbalan atas usaha memasarkan barang serta melatih para pembeli baru. Menurut Lajnah Fatwa Al Azhar, model seperti ini sama halnya dengan samsarah. (Baca: MLM Haram, Ini Alasannya)
Fatwa ini dikritisi Dr Husain Syahrani. Dalam disertasinya tentang MLM, Dr Husain Syahrani mengatakan fatwa ini tidak bisa dijadikan acuan untuk membolehkan MLM secara mutlak. Ada beberapa sistem yang diterapkan MLM yang memang tidak sesuai dengan unsur syariah.
Misalkan, beberapa perusahaan MLM mengharuskan membeli suatu produk sebagai syarat keanggotaan dan bisa mendapatkan bonus dari pemasaran barang. Demikian juga bonus yang dijanjikan dengan harga produk dan jerih payahnya memasarkan barang tidaklah sebanding dengan bonus yang diterima.
Misalkan, suatu perusahaan MLM menjanjikan bonus 50 ribu USD di akhir tahun. Padahal harga produk tidak lebih dari 99 USD. Dengan perbandingan 0,3% dari harga produk dan bonus 99,7% ini pasti membuat setiap orang yang membeli produk serta ikut jaringan bertujuan mendapatkan bonus. Tujuan anggota MLM ini bukan untuk mendapatkan produk tapi ingin bonus saja. (hanan putra)