Rabu 19 Aug 2015 18:52 WIB

‘Islam Nusantara tidak Liberal Sekaligus tidak Tekstual’

Rep: Muhammad Subarkah/ Red: Indah Wulandari
 Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ma'ruf Amin (kiri) bersama Ketua Fraksi PKB Helmy Faishal Zaini (kanan) menjadi pembicara dalam Halaqoh Kebangsaan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/8).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ma'ruf Amin (kiri) bersama Ketua Fraksi PKB Helmy Faishal Zaini (kanan) menjadi pembicara dalam Halaqoh Kebangsaan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/8).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Rais 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Ma’ruf Amin mengatakan, Islam Nusantara adalah paham Islam yang berada di tengah, yakni tidak radikal dan tidak tekstual.

Posisinya adalah sebagai ajaran yang Islam mampu mengakomodasi kebiasaan, tradisi, dan kultur dengan mempertimbangkan kebaikan dan kemaslahatan yang ada di dalam masyarakat. Selain itu juga dipraktikan melalui cara tanpa kekerasan serta tidak menimbulkan kegaduhan atau dishamoni bangsa.

‘’Gerakan dan perilaku Islam Nusantara tersebut teramat penting untuk terus disosialisasikan di tengah berkembangnya banyak paham keagamaan. Seperti mu’tazilah, jabariyah, syiah, radikalisme dan lain-lain. Selain itu, bukan paham yang jabariyah atau liberal yang tanpa metodologi yang jelas,”  kata  Ma’ruf Amin  dalam Halaqoh Kebangsaan ‘Islam Nusantara; Mengembangkan Sikap Toleran, Moderat dan Maslahah’ yang digelar oleh FPKB DPR RI di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (19/8).

Setidaknya kata Ma’ruf Amin, di dalam Islam Nusantara itu ada tiga aspek Islam yang harus dikenalkan kepada publik. Ini  antara lain, berupa posisi pemikiran, bentuk gerakan, dan tindakan amaliyahnya. Dan sebetulnya pula Islam Nusantara itu bukanlah agama baru, melainkan cara pendekatan ajaran Islam yang selama ini telah dipraktikan di masyarakat Indonesia.

Karena itu, Islam Nusantara itu jelas merupakan gerakan Islam yang berkemajuan (harakatul ishlahiyah) serta gerakan perbaikan  yang bersifat aktif

.’’Maka kini sudah waktunya dilakukan pembaruan dalam pemahaman kaidah  fiqhnya, misalnya Almuhafadhatu alal qodimis sholih wal akhdu biljadidil ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik) menjadi taqdimul ashlah alas-sholah (mendahulukan hal yang terbaik daripada yang baik).

Pada sisi lain, Islam Nusantara juga tidak antiformalisme ajaran Islam di dalam hukum positif. Ini bisa dilakukan bila diputuskan melalui cara musyawarah, tidak memaksa-maksa, dan tidak membuat disharmoni dalam masyarakat seperti adanya  undang-undang (qanun) zakat, haji, bank syariah, asuransi syariah, dan lainnya.

“Kalau pun nanti ada pihak yang tidak setuju dengan kesepakatan atas formalisme itu, maka kami juga tak keberatan bila ada perundangan yang hanya mengambil sisi substansi dalam ajaran Islam. Jadi, bagaimana pun berbagai praktik keagamaan itu  harus kita beri ruang sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan begitu kini  perlu pengkajian mendalam agar ajaran Islam menjadi perilaku sehari-hari, agar tidak lahir Islam yang radikal,” pungkasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement