REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemakaian kartu kredit kini mendominasi setiap lini perdagangan dan bisnis. Namun, bolehkah transaksi seperti ini dalam tinjauan syariatnya? Benarkah model pembayaran kartu kredit mengandung unsur ribawi?
Sebelumnya, perlu dikaji terlebih dahulu mekanisme cara kerja kartu kredit. Ada tiga pihak yang bertransaksi, yakni pengguna kartu kredit, pihak yang mengeluarkan kartu kredit (bank), dan pedagang yang menjual dagangannya dengan model pembayaran kartu kredit.
Pertama, transaksi yang terjadi antara pihak yang mengeluarkan kartu kredit (bank) dengan pengguna kartu kredit (nasabah) disebut dengan transaksi kafalah (jaminan). Pihak bank diistilahkan sebagai kafil (penjamin) dan nasabah adalah makful (yang dijamin).
Kafil bertanggungjawab membayar seluruh transaksi yang dilakukan nasabahnya dengan pihak pedangang. Hal ini diperbolehkan mayoritas ulama selain mazhab Syafi'iyah dengan istilah "dhoman ma lam yajib 'alaihi" (menjamin sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi kewajibannya).
Namun, tentu saja para ulama masih berselisih ketika membawakan istilah ini pada kartu kredit. Dari segi tujuan, istilah "dhoman ma lam yajib 'alaihi" ini hanya semata-mata untuk membantu dengan azas tolong menolong.
Misalkan, seorang anak membeli sesuatu di sebuah toko dan menjadikan orang tuanya sebagai kafil. Selanjutnya, orang tuanya datang membayar semua barang-barang yang dibeli anaknya dari toko tersebut. Hal ini diperbolehkan karena tidak berorientasi pada keuntungan.
Berbeda dengan model transaksi kartu kredit. Pihak bank tentu ingin mengambil keuntungan. Misalnya, biaya bulanan/ tahunan dari kartu kredit, denda keterlambatan pembayaran tagihan kartu kredit, dan biaya-biaya lainnya. Disanalah pihak bank mengambil keuntungan.
Pakar fikih kontemporer lulusan Universitas Al Azhar Mesir, Dr Ahmad Zain An-Najah MA mengatakan, biaya yang dikeluarkan sebagai pengguna kartu kredit masih dipandang boleh oleh para ulama, selama masih dalam kategori wajar.
Misalkan, upah pembuatan kartu, biaya administrasi, dan sebagainya. Masalahnya, ketika pengguna kartu kredit menunggak dalam tagihannya. Kebanyakan bank memberlakukan bunga sebagai hukuman karena telat membayar.
Menurut Ahmad Zain, jumlah tagihan kartu kredit yang dibayar nasabah kepada bank harus sesuai dengan nilai barang yang ia beli dari pedagang, atau jasa yang ia manfaatkan dengan pembayaran kartu kredit.
Jika pihak bank mensyaratkan imbalan dari jasa atau jaminan yang diberikannya, disanalah jatuhnya riba.
Demikian juga bunga karena nasabah tidak melunasi tagihan kartu kreditnya lewat dari jatuh tempo atau menunggak. Tidak diragukan lagi, nasabah kartu kredit sudah jatuh pada praktik ribawi.