Jumat 31 Jul 2015 22:42 WIB

Mekanisme Pemilihan Ketua Jadi Isu Panas di Muktamar NU

Rep: Andi Nurroni/ Red: Bayu Hermawan
Kantor Pusat PBNU (ilustrasi)
Foto: mobile.seruu.com
Kantor Pusat PBNU (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JOMBANG -- Mekanisme pemilihan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menjadi isu panas menjelang Muktamar ke-33 lembaga itu yang digelar di Jombang, 1-5 Agustus. Dua opsi pemilihan seolah membelah NU menjadi dua kubu.

Kubu pertama mengusung gagasan musyawarah mufakat melalui sembilan ulama terpilih, atau dikenal denga istilah ahlul halli wal aqdi (AHWA).

Sementara kubu lain menghendaki pemungutan suara atau voting. Pada Muktamar sebelumnya, hanya ketua umum tanfidziah (pelaksana) saja yang dipilih melalui voting. Sementara rais aam syuriyah atau ketua dewan syuro, dipilih melalui AHWA.

Kubu pendukung AHWA diwakili oleh KH Said Aqil Siradj dan KH Ahmad Mustofa Bisri. Mereka adalah duet petahana yang masing-masing kembali dijagokan kembali menjadi ketua umum tanfidziah dan rais aam syuriyah.

Sedangkan kubu yang mengehndaki voting diwakili oleh KH Salahudin Wahid dan KH As’ad Said Ali yang dicalonkan sebagai ketua umum tanfidziah, serta KH Hasyim Muzadi yang dijagokan menjadi rais aam syuriyah.

Kubu yang menghendaki voting merasa memiliki dukungan dari masyoritas pemilik suara, yakni para pengurus wilayah dan cabang NU di daerah. Pemilihan dengan AHWA, menurut mereka, rentan didominasi segelintir tokoh dan berpotensi mengebiri aspirasi arus bawah yang sudah pasti akan segan beradu pendapat dengan para kiai.

Mekanisme musyawarah, menurut mereka, juga dianggap menguntung kubu petahana. Berbicara dalam jumpa pers di Jombang, Jumat (31/7), Ketua Panitia Pengarah KH Slamet Effendy Yusuf menyanggah bahwa mekanisme AHWA diusulkan untuk menguntungkan kandidat tertentu.

Menurut Slamet, wacana AHWA sudah bergulir sejak era  Rais Aam KH Mohammad Ahmad Sahal Mahfudz, sebelum kepengurusan NU yang hari ini menjabat. "AHWA itu adalah kesepakatan ulama sejak lama," ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, puteri mantan Presiden Abdurahman Wahid atau Gusdur, Yenni Wahid, menyatakan dukungannya terhadap mekanisme pemilihan AHWA.

"AHWA itu mekanisme yang baik karena mengedepankan musyawarah-mufakat. Tapi semua dikembalikan ke peserta muktamar. Dengan catatan, jangan sedikit-sedikit ditolak hanya karena kepentingan sesaat," jelasnya.

Wacana mekanisme pemilihan diprediksi akan semakin memanas di ruang muktamar. Mekanisme mana yang akan digunakan, tentu semua bergantung pada para peserta muktamar sendiri sebagai pemegang suara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement