Kamis 30 Jul 2015 20:10 WIB

Menag: Upaya Pemerintah Wujudkan Kebersamaan Ramadhan Dimulai Sejak 1998

(dari kiri) Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) K.H. Maruf Amin, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia MUI Din Syamsuddin, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan Dirjen Bimas Islam Kemenag Machasin memberikan keterangan usai Sidang Itsbat Awal Sy
Foto: Republika/Prayogi
(dari kiri) Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) K.H. Maruf Amin, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia MUI Din Syamsuddin, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan Dirjen Bimas Islam Kemenag Machasin memberikan keterangan usai Sidang Itsbat Awal Sy

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Penentuan (itsbat) awal  bulan hijriyah, khususnya Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah selalu mendapat perhatian khusus umat Islam sejak dulu hingga sekarang. Itu disebabkan itsbat  tidak hanya terkait dengan  kegiatan Ibadah,  tetapi juga masalah ekonomi, sosial, maupun politik.

Setidaknya ada dua metode yang umum dikenal dalam penentuan awal bulan ini, yaitu hisab (perhitungan) dan rukyat (melihat hilal).  Masyarakat awam sering melihat pendekatan hisab dan rukyat  sebagai dua metode yang saling bertentangan sehingga keduanya dihadapkan dalam posisi yang berhadapan dan tidak mungkin dipertemukan. 

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memandang bahwa  dari sudut pandang Ilmu Falak, hisab dan rukyat sejatinya seperti  dua sisi mata uang yang hanya bisa dibedakan tapi tidak dapat saling menafikan dan dinafikan. Hal ini disampaikan Menag saat menjadi Keynote Speaker pada Seminar Internasional dan Diklat Ilmu Falak yang diselenggarakan oleh Pimpinan Wilayah Lajnah Falakiyah NU di Malang, seperti dilansir Kemenag.go.id, Kamis (30/07). 

Hadir pada kesempatan ini, Rektor UIN Malang Muji Raharjo,  Direktur Urais Muhtar Ali, Asisten Perekonomian dan Keuangan Pemda Kab Malang Norman Radamsyah yang mewakili Bupati Malang,  Kakanwil kemenag Jatim Mahfud Shodar,  Wakil Rais syuriah KH. Marzuki Mustamar, Imam Suprayogo, serta Ketua Lajnah Falakiah Jawa timur Sofiyullah.

Seminar Internasional yang diikuti oleh 250 peserta dari seluruh Indonesia ini menghadirkan pembicara dari luar negeri, antara lain: Syaikh Muhamad Shadi Arbash (Syiria), Syaikh Dr. Muslih (Arab Saudi), Dr. Kaseem Bahalli (Malaysia). Selain itu,  Prof. Dr.  H.  Suksinan Azhari, MA. (PP Muhammadiyah), dan Dr. H. Abdus Salam Nawawi, M.Ag (PBNU). Adapun tema yang diangkat adalah “Mengurai Benang Kusut Penetapan Awal Hijriyah, Merajut Solusi Bersama.” 

Menag Lukman mengatakan bahwa pemerintah terus berupaya untuk mencari titik temu agar penetapan awal bulan Hijriyah bisa sama. “Upaya Pemerintah untuk mewujudkan kebersamaan dalam memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan sudah dimulai sejak 1998, dengan menyelenggarakan musyawarah ulama, ahli hisab dan ormas Islam tentang Kriteria Imkanurrukyat yang diselenggarakan di Bogor. Lalu 2003 di kantor Kemenag, 2005 di Jakarta, terakhir 2015 muzakarah penyatuan kalender Hijriyah di PBNU,” terang Menag. 

Ditambahkan Menag bahwa di berbagai pertemuan dan seminar yang digelar, telah dilakukan upaya penyamaan persepsi, khususnya bagaimana menyatukan standar awal perhitungan. Namun demikian, Menag mengakui bahwa di lapangan masih menemui hambatan. “Hambatan  utamanya,  dalam pengamatan saya adalah kuatnya kenyakinan dan ke-engganan para pihak untuk beranjak dari kenyakinan lamanya masing-masing,” tutup Menag.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement