REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA—Dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dalam waktu yang hampir bersamaan akan menyelenggarakan Muktamar. NU akan menggelar Muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur, pada 1-5 Agustus. Sementara Muhammadiyah akan melangsungkan Muktamar ke-47 di Makassar, Sulawesi Selatan pada 3-7 Agustus.
Pada muktamar kali ini, NU mengangkat tema 'Meneguhkan Islam Nusantara untuk Membangun Peradaban Indonesia dan Dunia'. Sementara Muhammadiyah membawa tema 'Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan'.
Melalui tema tersebut, kedua ormas yang kerap dianggap representasi mayoritas Muslim Indonesia itu menawarkan konsep Islam tersendiri. NU mengusung gagasan “Islam Nusantara”, sedangkan Muhammadiyah menawarkan gagasan “Islam Berkemajuan”. Lantas, di mana letak persamaan dan perbedaan kedua konsep?
Senin (27/7), ketua umum masing-masing organisasi dipertemukan di Surabaya dalam sebuah dialog interaktif. Dialog yang diikuti 200-an hadirin itu diselenggarakan Harian Jawa Pos dalam rangka menyambut agenda Muktamar kedua organisasi.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menjelaskan, Islam memiliki watak universal. Karakter universalitas itu, menurut Din, harus dikuatkan, tanpa harus meninggalkan yang partikuler atau lokalitas.
Islam Indonesia saat ini, menurut Din, tidak cukup memiliki infrastruktur untuk mencapai kemajuan, sehingga mudah terkalahkan kelompok lain. Islam Indonesia, menurut Din, adalah kelompok mayoritas dengan mental minoritas.
“Ini harus diubah dengan visi berkemajuan. Visi berkemajuan harus diterjemahkan dalam berbagai sektor, dengan proses manajemen yang modern dan baik. Inilah yang bisa memajukan Indonesia,” ujar Din.
Islam berkemajuan, Din menyampaikan, berjalan beriringan dengan konsep negara Indonesia. Ia menggambarkan, cita-cita “memajukan kesejahteraan umum” dan “mencerdaskan kehidupan bangsa”, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, adalah hal-hal yang dicita-citakan oleh Islam berkemajuan.
Sepanjang diskusi, pemaparan kedua pembicara berhasil memukau hadirin. Baik Aqil maupun Din, dalam nada guyon sesekali mengintrik satu sama lain, sehingga tak jarang mengundang riuh tawa hadrin.
Aqil dan Din tidak memungkiri bahwa NU dan Muhammadiyah punya pendekatan yang berbeda, namun keduanya sepakat bahwa NU dan Muhammadiyah bersifat saling melengkapi. Selain Din dan Aqil, dihadirkan pembicara ketiga, pengamat politik Universitas Airlangga, Hariadi. Selain itu, dialog juga dihadiri Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf.