REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal PP Muhammadiyah, Abdul Mu’thi menekankan pentingnya membangun kesadaran umat dalam menyikapi perbedaan penetapan satu Syawal.
“Yang terpenting bukan menyamakan, tapi membangun kesadaran bersama di tengah keyakinan yang berbeda. Perlu ada sikap saling menghormati, kemudian saling mendukung antar ormas,” kata Mu’thi kepada ROL, Senin (13/7).
Mu’thi melanjutkan, persoalan sistem politik di Indonesia berbeda dengan Malaysia, Brunei, atau sejumlah negara mayoritas Islam lain. Indonesia adalah negara yang berdasar Pancasila. Secara politik, pemerintah tidak punya kewenangan untuk masuk ke wilayah yang berkenaan dengan ibadah.
Masalah penetapan satu Syawal, jelas Mu’thi, merupakan masalah ibadah. Pemerintah bisa saja memfasilitasi dialog, seperti yang selama ini sudah dilakukan. Tapi, keputusan akhir tetap ada pada masing-masing ormas. Sekali lagi ia menegaskan, penetapan satu Syawal merupakan masalah keyakinan yang tidak berhak dicampuri.
Ia menganalogikan penetapan satu Syawal dengan rakaat shalat tarawih. Ada yang yakin dengan jumlah rakaat 11, tetapi ada yang yakin dengan jumlah rakaat 21. Setiap orang memiliki keyakinan yang dibangun atas dasar referensi dalil masing-masing. Pemerintah tidak bisa mengatakan pihak mana yang lebih benar.
Lebih lanjut, Mu’thi menilai masyarakat sebenarnya sudah terbiasa dengan perbedaan penetapan satu Syawal. Seringkali, masalah justru muncul dari oknum aparat yang over acting. Mereka mempermasalahkan pelaksanaan sholat Ied yang tidak sama dengan pemerintah. Apalagi bila itu berkaitan dengan hari libur kantor.