Senin 29 Jun 2015 14:16 WIB

Kisah Nabi Ibrahim Mencari Tuhan (1)

Rep: c30/ Red: Agung Sasongko
Manusia mensyukuri nikmat Allah SWT dengan cara menyembah dan beribadah kepada-Nya.
Foto: Republika/Yasin Habibi
Manusia mensyukuri nikmat Allah SWT dengan cara menyembah dan beribadah kepada-Nya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alkisah bercerita tentang masa kecil Nabi Ibrahim AS. Diusir oleh ayahnya, dibakar oleh kaumnya, lalu Allah selamatnya dengan menjadikan api itu dingin.

Semasa Nabi Ibrahim kecil, kaumnya terbagi menjadi tiga golongan. Golongan yang menyembah berhala (patung-patung), golongan penyembah bintang, dan golongan penyembah raja.

Nabi Ibrahim sendiri anak dari seornag pemahat patung profesional dan sangat tersohor pada zamannya. Azar nama Ayahnya, seorang seniman dengan bakat istimewa sebagai pemahat ahli dan dari golongan yang amat dihormati. Keluarga yang amat dihormati dan disegani, Nabi Ibrahim mampu menentang penyimpangan yang terjadi pada keluarga dan masyarakatnya.

Nabi Ibrahim kecil sering sekali bermain-main dengan patung-patung buatan ayahnya. Saatu hari, Nabi Ibrahim menunggangi punggung patung Mardukh. Saat itu ayahnya marah, dan meminta Nabi Ibrahim lekas turun dari punggung patung buatannya.

Nabi Ibrahim bertanya, “Patung apakah ini ayahku? Kedua telinganya besar, lebih besar dari telinga kita.”

Ayahnya menjawab, “Namanya Mardukh, tuhan dari para tuhan. Kedua telinganya yang besar, sebagai simbol kecerdasannya yang luar biasa.”

Lantas Nabi Ibrahim kembali bertanya, “Siapa yang menciptakan manusia, wahai ayahku?” Ayahnya kembali menjawab, “Manusia, akulah yang membuatmu, dan ayahkulah yang membuatku.”

“Tapi aku pernah mendengar orang tua berkata, wahai tuhan, kenapa engkau tidak memberikanku anak?”

“Benar anakku, tapi tuhan tidak melakukannya langsung. Dia membantu manusia, oleh karena itu manusia harus menunjukkan kerendahannya dengan memberikan kurban.”

“Lantas, ada berapa banyak tuhan itu ayah?” “Tidak ada jumlahnya Ibrahim.”

“Kalau begitu, kalau aku hanya patuh pada satu tuhan, apakah tuhan yang lain akan marah? kalau tuhan yang lain marah, aku takut tuhanku akan dibunuh, lalu setelah itu aku yang dibunuh.” “Jangan terlalu khawatir Ibrahim, tidak akan terjadi permusuhan sesama tuhan.”

“Dari apa tuhan-tuhan itu diciptakan?”

“Dari kayu-kayu pelepah kurma, dari kayu-kayuzaitun, nah kalau yang berhala kecil itu dari gading. Lihatlah, sangat indah bukan? Hanya saja, patung tidak memiliki napas.”

“Kalau tuhan tidak memiliki napas, artinya mereka tidak memiliki kehidupan. Bagaimana para tuhan memberikan kehidupan, bila mereka saja tidak memilikinya? Pasti, mereka bukan tuhan yah..” Mendengar jawaban Nabi Ibrohim, ayahnya marah, berang, dan memukul Nabi Ibrohim.

Hari telah berlalu, Nabi Ibrahim tumbuh menjadi pemuda remaja. Kebenciannya pada patung-patung, tidak pernah surut. Nabi Ibrahim memperhatikan patung-patung itu tidak pernah makan maupun minum, juga tidak mampu berbicara. Bahkan, seandainya ada yang membalik patung itu, Nabi Ibrohim yakin, patung itu tidak mampu bangkit pada posisi semula.

Nabi Ibrahim terus saja berpikir, bagaimana manusia yang berakal membuat patung dengan tangannya sendiri, lantas sujud dan menyembahnya. Menyembah apa yang dibuatnya sendiri. “Bukankah yang demikian sangat mengherankan?” tanya Nabi Ibrahim di dalam hatinya.

Suatu hari, Nabi Ibrahim diajak ayahnya ke mihrab. Tempat di mana banyak jenis dan ukuran berhala dikumpulkan di dalam mihrab. Semua orang datang dengan pandangan tunduk dan hormat, bahkan ada yang sampai menangis tersedu-sedu.

Nabi Ibrahim justr datang dengan pandangan sinis dan menantang, membuat aneh orang-orang di sekitar. Kebetulan, di tempat penyembahan itu ada sebuah pesta, ada juga seorang dukun di sana yang memimpin doa masyarakat kepada para berhala itu.

Di tengah keheningan doa, tiba-tiba Nabi Ibrahim berbicara, “Hai dukun, para patung itu tidak mendengarmu, Apakah kamu juga yakin patung itu mendengar doamu?”

Sontak masyarakat hampir saja marah dengan pertanyaan Nabi Ibrahim. Lantas, buru-buru ayahnya menjelaskan dan segera membawa Nabi Ibrahim pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Nabi Ibrahim yang diminta segara tidur oleh ayahnya justru kabur ke salah satu gua.

Nabi Ibrahim terus saja berpikir, mustahil baginya patung-patung itu menjadi tuhan bagi kaumnya. Nabi Ibrahim lantas termenung bersandar pada dinding gua, pandangan matanya menatap lurus kelangit malam hari.

Di sana ia melihat begitu banyak bintang yang indah. Lantas Nabi Ibrahim berpikir, mingkin inilah tuhanku. Sama seperti golongan yang kedua yang menyembah bintang-bintang. Nabi Ibrahim mempercayai itu. Kemudian, Nabi Ibrahim melihat bintang yang besar yaitu bulan. Nabi Ibrahim pun menyerukan pada kaumnya, bahwa tuhan mereka adalah bulan yang cahayanya lebih terang dari bintang yang banyak itu.

Di kemudian hari, Nabi Ibrahim kembali tidak mendapati bulan di langit. Nabi Ibrahim kembali berpikir, bulan juga menghilang sama sepertihalnya bintang-bintang kecil. Nabi Ibrahim juga berpikir, pada esok pagi, bulan juga menghilang. Justru ada cahaya yang lebih besar dari bulan.

Cahaya yang lebih kuat yaitu matahari. Lalu, Nabi Ibrahim meyakini inilah tuhannya, tuhan yang paling terang, tuhan yang paling kuat. Lantas, Nabi Ibrahim kembali kecewa. Saat malam datang, matahari tenggelam. Tuhan tidak mungkin tenggelam pikir Nabi Ibrahim.

Nabi Ibrahim AS, merenungi dengan sangat apa-apa yang telah dilaluinya. Otaknya terus saja berpikir, tentang sesuatu yang paling kuat, sesuatu yang paling terang, dan sesuatu yang tidak mungkin tenggelam. Nabi Ibrahim menyakini, bahwa bintang-bintang yang dikaguminya, bahwa bulan dan matahari yang diikutinya, semuanya bisa muncul kemudian menghilang.

Tuhan tidak mungkin seperti itu. Nabi Ibrahim meyakini, bahwa Tuhanlah yang menjadikan mereka, Tuhanlah yang memunculkan dan menenggelamkan mereka. Tuhanlah yang menciptakan mereka, alam semesta, termasuk menciptakan dan memberi kehidupan bagi manusia.

Sumber: Sejarah nabi-nabi Allah SWT, Ahmad Bahjat, Lentera Basritama

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement