REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ideologi tentang perempuan memiliki posisi sentral dalam tasawuf karena pembicaraan mengenai topik itu mengisyaratkan pembicaraan tentang aspek feminitas Allah SWT.
“Ibnu Arabi mengatakan, siapa saja yang ingin menjadi sufi, hendaknya menjadi perempuan dulu. Maksudnya, hatinya harus lembut dan didominasi kasih sayang,” ujar Pendiri Mizan GroupHaidar Bagir dalam Festival Islam Cinta 2015 di UIN Jakarta, Selasa (3/6).
Pengajar Filsafat dan Mistisisme Islam di ICAS-Paramadina inimenjelaskan, 99 asma Allah SWT jika diwakili oleh dua sifat, yaitu Ar rahman dan Ar rahim, Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Sementara kasih sayang adalah sifat yang identik dengan perempuan. Jalaluddin Rumi juga menulis satu buku tentang feminitas dalam tasawuf berjudul “Jiwaku adalah Wanita”.
“Kalau dalam sejarah kita lihat sedikitnya jumlah sufi perempuan, problemnya karena sejarah tergantung siapa yang menulis. Ada sekian banyak sufi perempuan sepanjang sejarah,” ujarnya.
Ia mencontohkan, Rabi'ah al Adawiyah adalah sufi perempuan, sementara Ibnu Arabi memiliki guru sufi perempuan yang sangat ia kagumi bernama Fatimah dari Cordoba.
Sufi dan budayawan Candra Malik menambahkan, “Ada seorang syekh yang beranggapan, menerima satu perempuan sebagai murid sama dengan menerima seribu laki-laki. Rahim, itu modal dasar yang hanya dimiliki perempuan dan sangat penting untuk mendekatkan diri kepada Allah.”
Namun, lanjut Gus Candra, sesungguhnya pembicaraan tasawuf bukan tentang gender. Allah SWT itu laisa kamitslihi syaiun, tidak ada sesuatu yang menyerupainya. Allah tidak laki-laki dan tidak pula perempuan.
“Dalam tasawuf, tidak bisa lagi kita wakilkan pembicaraan tentang gender, karena tasawuf memang sudah lepas dari persoalan gender. Tasawuf adalah tentang Dia, Sang Maha Cinta,” ujarnya.
Ikuti Whatsapp Channel Republika
