Senin 01 Jun 2015 11:00 WIB

KB Steril, Bolehkah? (2-habis)

Rep: Hannan Putra/ Red: Indah Wulandari
Sterilisasi massal
Foto: antaranews
Sterilisasi massal

REPUBLIKA.CO.ID,Ilmuwan Islam seperti Dr Muhammad Abdus Salam Madkur, Dr Mahmud Shalthut (Rektor Universitas Al-Azhar Mesir) pernah membahas tuntas hal ini dan tak mempermasalahkan KB.

Namun, ternyata tidak semua program KB tersebut disetujui para ulama. Yang menjadi perdebatan ulama adalah KB model sterilisasi. KB jenis ini, baik vasektomi atau vas ligation (sterilisasi untuk laki-laki) maupun tubektomi (sterilisasi pada wanita) tak disetujui ulama.

Dr Shaltut sendiri tidak sepakat jika ada program sterilisasi yang berlangsung secara permanen. Terkecuali jika memang ada alasan-alasan serius seperti menyangkut penyakit keturunan atau penyakit menular yang membahayakan.

Lalu bagaimana jika sterilisasi tersebut bisa dipulihkan lagi(reversable)? Para ulama tetap menyangsikan ini mengingat resiko besar hal ini dapat berhasil. Para ahli kedokteran mengakui, harapannya tipis sekali untuk bisa berhasil. Para ulama berdalil dengan kaidah fikih "da'ma yuribuka ila ma la yuribuka" (tinggalkan apa yang engkau ragui kepada apa yang tidak engkau ragu).

Terlalu beresiko mengambil tindakan sterilisasi sedangkan kemungkinan reversablenya sangatlah tipis.

Jadi, sterilisasi baik untuk lelaki atau perempuan pada akhirnya sama saja dengan abortus yang bisa berakibat kemandulan sehinga yang bersangkutan tidak lagi mempunyai keturunan. Para ulama menetapkan hukum asalnya adalah haram. Namun ada beberapa pengecualian yang bisa membolehkan sterilisasi.

Para ulama berdalil, sterilisasi berakibat pemandulan secara permanen. Ini tentu bertentangan dengan tujuan asal perkawinan yaitu untuk mendapatkan keturunan yang sah.

Selain itu, sterilisasi juga berarti mengubah ciptaan Tuhan dengan jalan memotong dan menghilangkan sebagian tubuh yang sehat dan berfungsi. Hal lainnya, proses operasi juga memberikan kesempatan memperlihatkan aurat mughallazah (kemaluan) yang haram dilakukan kecuali untuk urusan darurat. Jika hanya untuk sebuah sterilisasi, tentu alasan ini tak dapat diperkenankan.

Namun jika ada uzur-uzur syar'i seperti dalam keadaan sangat terpaksa untuk menghindari penurunan penyakit dari bapak/ibu terhadap anak keturunannya, hal ini diperbolehkan. Misalnya, kondisi terancamnya jiwa si ibu bila ia mengandung atau melahirkan bayi, si bayi dikhawatirkan terkena penyakit berat yang berujung kematian.

Kebolehan dalam kasus ini berdalil dengan kaidah fikih, "Keadaan darurat itu membolehkan hal-hal yang dilarang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement