REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Potensi konflik di Indonesia bagian timur sama sekali tak berkaitan dengan isu perbedaan agama.
"Ketika ada konflik di Indonesia Timur, pemicunya bukan hanya agama atau tidak dihayatinya Pancasila dengan baik, tapi dipengaruhi oleh psikososial masyarakat setempat dan masalah kesejahteraan," papar dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang Dr. Hudi Asrori saat mengisi 'Toleransi Antar Umat Beragama' di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Jumat (22/5).
Apalagi, ujarnya, hukum yang harus diterapkan di Indonesia adalah hukum positif. Lantaran penduduk Indonesia heterogen yang terdiri dari berbagai agama, suku, tradisi, adat istiadat, bahasa daerah, dan budaya.
Kemudian, para pendiri Republik Indonesia, yang sebagian besar beragama Islam, sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan hukum positif sebagai hukum yang berlaku.
Dosen Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Dr Okrizal Eka Putra, Lc. pun menguatkan bahwa para tokoh agama dari Sabang sampai Merauke sudah sangat toleran dalam meletakkan dasar-dasar agama dalam bernegara.
Islam, yang menjadi agama mayoritas penduduk Indonesia pun, jelas Okrizal, datang dengan kedamaian dan tidak dengan paksaan. Karena itu, para pengikutnya harus mengedepankan ilmu dan kesabaran, bukan dengan kekerasan.
"Toleransi kuncinya adalah menjaga teritorial masing-masing dan saling menghargai. Pemerintah bersama masyarakat memiliki peran penting dalam jalannya sendi-sendi agama dan sendi negara Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga tercipta kerukunan antar umat beragama dan situasi yang aman serta kondusif," ujarnya.
Hanya saja, kawasan Indonesia bagian Timur, dinilainya, perlu mendapatkan perhatian khusus dari semua pihak untuk membumikan nilai-nilai Pancasila pada penduduknya. Sehingga umat muslim yang merupakan minoritas di area tersebut bisa terjamin keamanan serta keselamatannya.