REPUBLIKA.CO.ID, FREEMANTLE -- Malam mulai menyelimuti Kota Fremantle. Dingin mulai menggigit mengingat musim gugur di Australia sebentar lagi selesai dan berganti ke musim dingin.
Lebih dari 20 orang telah terduduk di ruangan di "The Meeting Place City of Fremantle"--semacam balai warga Kota Fremantle--untuk mengikuti diskusi tentang isu Islamofobia di Australia dengan dua pembicara yang berlatar belakang yang berbeda.
Adalah Victoria Martin, perempuan berkaca mata dan mengenakan baju berwarna hitam, memperkenalkan dirinya dari perspektif seorang Yahudi sekuler yang antizionis saat menjadi pembicara pertama.
Selama lebih dari 13 tahun terakhir, Victoria menjadi pegiat hak-hak pengungsi dan pencari suaka di Australia. Dia juga relatif banyak menuliskan pendapatnya secara lantang yang menolak pendekatan rezim zionis di Israel terhadap Palestina.
"Islamofobia di Australia hari ini sangat erat kaitannya dengan kolonialisme dan neokolonialisme. Berbagai kebijakan yang tengah dilakukan oleh pemerintah Australia sekarang tidak lain adalah kebijakan fasisme bentuk baru, dan menempatkan Islam sebagai musuh pandangan nasionalis," ujar Victoria.
Lebih lanjut perempuan yang menggalang gerakan antikebencian terhadap Muslim di Australia Barat (WA) ini menyebut istilah Islamofobia sebagai kelanjutan dari pandangan orientalisme dan bentuk baru dari rasisme di Australia.
"Pandangan yang digencarkan adalah ketakutan dan kebencian. Islam digambarkan secara keliru dan Muslim mulai dilihat sebagai orang-orang kolot dan bahkan tidak pantas disebut sebagai manusia karena tidak terhubung dengan dunia Barat," kata dia.
Islamofobia, kata dia, disuburkan oleh media dan partai politik di Australia karena memang isu ini sangat menguntungkan mereka. Partai politik mendulang suara pemilih dengan isu-isu yang menakutkan seperti serbuan imigran dan radikalisme Islam.
"Adalah sangat, sangat mudah untuk membuat orang takut, membuat orang khawatir dan mengembuskan informasi yang keliru tentang Islam dan Muslim. Kebijakan pemerintah Australia saat ini sudah bergeser dari multikulturalisme menjadi ultranasionalis meskipun pemerintah selalu membantah mereka berada di spektrum ekstrem kanan," katanya.