REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Siapa bilang Indonesia negara yang kerap mempersulit pendirian rumah ibadah. Jika ada yang bilang demikian, mestinya mereka melihat fakta ini, bahwa justru negara-negara Baratlah yang kerap menghalang-halangi pendirian rumah ibadah.
Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Masykuri Abdillah, menjelaskan negara-negara Eropa yang selama ini dipersepsikan sangat bebas, ternyata memiliki regulasi yang ketat dalam pengaturan kehidupan beragama termasuk pendirian rumah ibadah. Kebijakan yang diambil oleh negara-negara Barat itu dilandasi kekhawatiran bahwa bila pendirian masjid mudah, maka akan mengubah lanskap dan kultur masyarakat Barat.
Sedangkan negara Barat berkilah bahwa peradaban yang mereka jaga dan pertahaankan saat ini sudah sangat ideal. ”Justru di Baratlah masjid-masjid dipersulit berdiri,” tuturnya kepada Republika di Jakarta, Kamis (14/5).
Menurut sosok yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Wantimpres di era presiden SBY ini, berdasarkan data BPS 2010, kelompok minoritas di Indonesia berjumlah 12.69 persen, tetapi persentase rumah ibadahnya mencapai 23.5 persen.
Jumlah gereja Kristen dan Katolik di Indonesia mencapai 61.756, terbesar ketiga setelah AS dan Brasil. Sementara rasio jumlah gereja dengan pemeluk Kristen di Indonesia tertinggi di dunia, yakni 1:327 dibandingkan dengan AS (sekitar 1:745), Inggris (sekitar 1:850) dan Italia (sekitar 1:2047).
Ia pun memberikan rincian sebagai berikut yaitu di Italia. Muslim berjumlah 1.583.000 sampai saat ini hanya diizinkan berdiri tiga masjid (1:527.666). Sedangkan di Inggris, dengan jumlah Muslim sekitar 2.869.000 jumlah masjid sekitar 1400 (1:2.049), dan Jerman dengan jumlah Muslim 4.119. 000 jumlah masjid sekitar 2.500 (1:1.647).
Sedangkan di Amerika Serikat, dengan jumlah Muslim 2.350.000 jumlah masjid sekitar 2.100 (1:119). Bahkan di Slovakia dan Slovania sampai sekarang umat Islam belum diizinkan mendirikan masjid. Masykuri berkisah, saat ia menyampaikan data ini kepada delegasi dari gereja yang datang dari negara-negara Barat, mereka tercengang. Informasi dan persepsi yang mereka terima selama ini salah. Tak berbanding lurus dengan fakta di Eropa.