Oleh: Ozi Setiadi
REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG SELATAN -- Niat merupakan suatu hal yang sangat sering kita dengar. Sederhana, akan tetapi memiliki makna yang dalam. Seseorang yang akan melakukan suatu perbuatan tentunya berdasarkan pada niat. Ingin makan, karena ada niat untuk makan, ingin bekerja karena ada niat untuk bekerja, bepergian tentunya juga karena ada niat untuk bepergian, dan lain sebagainya segala sesuatu berdasarkan pada niatnya.
Seorang Muslim yang berangkat untuk melaksanakan ibadah haji, misalnya, ini tentunya didasarkan pada adanya niat/azzam yang kuat untuk berangkat haji. Dengan niat yang kuat muncullah sebuah tekad, sehingga ia akan mengupayakan dengan maksimal agar dapat berangkat ke Tanah Suci. Akan tetapi, apakah keberangkatannya ke tanah suci akan mendapat pahala di sisi Allah SWT atau justru malah mendapat dosa, atau ia termasuk orang yang merugi karena dosa dan pahalanya saling bergururan, sehingga ia tidak mendapatkan pemberian Allah yang mulia, yaitu pahala di sisi Allah SWT.
Haji adalah amal yang mulia, akan tetapi bila niatnya melenceng maka justru akan mendapatkan dosa. Imam Al-Suyuti menjelaskan dengan menggambarkan seseorang yang berangkat haji disertai dengan keinginan untuk berbisnis, beliau mengatakan apabila seseorang berangkat menunaikan ibadah haji disertai dengan niat yang dominan karena Allah, maka ia mendapatkan pahala di sisi Allah SWT.
Sebaliknya, apabila seseorang menunaikan ibadah haji karena kepentingan bisnis atau kepentingan dunia yang dominan, bahkan untuk berbuat ria, maka ia justru akan mendapatkan dosa. Lalu, bagaimana bila niat berhaji dan beramal dunia yang seimbang? Lanjut imam Al-Suyuti keduanya saling berguguran yakni tidak mendapatkan dosa dan pahala, dan ini adalah orang yang sangat merugi.
Allah SWT., berfiman dalam Al-Quran surat Hud: Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan Sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. [15] Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang Telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang Telah mereka kerjakan[16]. (Q.S. Hud [11]: 15-16)
Apa yang telah digambarkan oleh imam Al-Suyuti rahimahullah telah memberi penjelasan kepada kita bahwa pahala seseorang dilihat dari niatnya, mana yang paling dominan. Seseorang melakukan perbuatan karena Allah atau karena kecintaannya kepada dunia. Rasul SAW bersabda yang diriwayatkan oleh an-Nasai:
Ada seorang datang menghadap Rasulullah SAW dan berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang seseorang yang berperang dijalan Allah untuk mencari pahala dan juga agar (namanya) dikenang manusia lainnya, apa yang akan ia peroleh?
Nabi SAW menjawab: Ia tidak mendapatkan apa-apa. Lalu orang tersebut mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, dan semua jawaban dari Nabi juga sama: Ia tidak mendapatkan apa-apa. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali dengan niat ikhlas dan hanya mengharapkan balasan dari-Nya semata. (HR. An Nasai)
Sederhananya dapat dipahami bahwa, seseorang mendapat pahala diawali karena niatnya, begitu pula yang mendapatkan dosa juga diawali karena niatnya. Maka, wajar bila ada perkataan bijak yang mengatakan, niat amalan dunia seseorang untuk dunianya dan niat amalan akhirat untuk akhiratnya. Oleh sebab itu, mari sama-sama kita memperbaiki niat agar niat kita sejalan dengan apa yang kita kerjakan.
Penjelasan di atas dapat memahamkan kita betapa pentingnya niat dalam kehidupan, sehingga niat tidak akan pernah terlepas dari segala amal/perbuatan. Ini seperti dua sisi mata uang yang saling terkait dan tidak akan terpisah antara satu dengan yang lainnya.
Satu sisi mata uang tidak akan memiliki nilai bila dipergunakan untuk bertransaksi jual bali, begitu pula dengan sisi yang lain. Ia akan memiliki nilai bila menjadi satu kesatuan. Untuk itu, selaraskanlah niat yang baik dengan perbuatan yang baik agar kita mendapat kebaikan dari sisi Allah Swt., amin.
Allah SWT, berfirman dalam Al-Quran surat Al-Baqarah yang berbunyi: Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (Q.S. Al-Baqarah [2]: 45)
Ayat di atas memiliki dua poin penting dalam melakukan amal/perbuatan. Poin pertama adalah sabar; ini menunjukkan perasaan/suasana hati seorang Muslim, lebih jauh lagi aktivitas ruhani yang harus sejalan dengan niat. Sebuah deskripsi (gambaran) singkat yang mungkin dapat menggambarkan perlunya niat sejalan dengan aktivitas ruhani adalah ketika seseorang berkeinginan untuk menjadi ulama besar, namun tidak didukung oleh kesalehan yang baik, maka ia justru akan merugikan tidak hanya diri sendiri, tetapi juga orang lain.
Bagaimana mungkin seorang yang biasa-biasa saja menginginkan menjadi seorang ulama seperti ulama-ulama besar sekelas Al-Farabi, Ibnu Thaimiyah, Ibnu Khaldun dan lainnya jikalau niatnya tidak sejalan dengan “kemapanan” ruhaninya, jikalau kesalehannya masih sebatas kedok yang membungkus perangai buruknya, ini tidak akan mungkin terjadi.
Seorang yang tidak memiliki “kemapanan” ruhani, kebijaksanaan ruhani yang dalam hal ini diwakili oleh akhlak dan pengetahuan agama yang mumpuni apabila mempelajari sesuatu yang berat dengan maksud untuk berma’rifat kepada Allah malah nantinya justru akan menyesatkan. Niatnya berbelok, sehingga tidak hanya membuat dirinya tersesat, tetapi juga menyesatkan orang lain.
Lihat apa yang dilakukan oleh Ahmad Mushaddiq, seorang konsultan bulu tangkis yang mengaku sebagai nabi terakhir yang menerima wahyu di Bogor. Lihat pula, Lia Eden, seorang yang mengaku sebagai Jibril yang membawa wahyu bagi anaknya, yang ia sebut sebagai Isa, tidak hanya menyesatkan dirinya tetapi juga umat yang tidak berpengetahuan yang tidak mapan dalam ruhaninya.
Mereka goyah, sehingga mudah untuk dirasuki, dan diajak kepada perbuatan yang mensekutukan Allah, na’udzubillahi mi dzalik. Oleh karenanya, apabila seseorang memiliki niat yang mulia, ia juga harus sabar mengikuti proses yang dijalani. Tidak tergesa-gesa karena dalam hal umum ketergesaan itu datangnya dari setan yang tentu akan berakibat merugikan.
Poin kedua adalah shalat; ini menunjukkan ibadah maghdhoh kepada Allah SWT., lebih jauh lagi ini menunjukkan perbuatan ibadah atau perbuatan berupa aktivitas jasmani yang juga harus sejalan dengan niat. Jasmani manusia akan melakukan apa yang dipikirkan olehnya. Pemikiran ini tentu berdasarkan pada niat. Oleh sebab itu, jasmani manusia akan berbuat berdasarkan pada niatnya.
Tidak akan mungkin jasmani melakukan sesuatu yang memberatkan dirinya, sementara ia tahu bahwa itu adalah tidaklah mungkin. Bagaimana mungkin manusia dapat memindahkan gedung secara utuh kalau ia tidak memiliki kemampuan fisik yang memungkinkan? Bagaimana mungking manusia dapat memindahkan bukit kalau ia tidak memiliki kemampuan jasmani yang memungkinkannya melakukan hal demikian? Pantas saja bila Allah SWT., berfirman dalam kitab-Nya;
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (Q.S. Al-Baqarah [2]: 286)
Ayat diatas memberikan pemahaman kita bahwa Allah tidak membebankan segala sesuatu kepada hamba-Nya melainkan berdasarkan pada kesanggupan/kemampuan jasmani dan ruhaninya. Dengan demikian, jelaslah bahwa niat yang kita tanamkan dalam diri kita sudah tentu harus sejalan dengan amal perbuatan.
Jangan pada mulanya berniat baik untuk bekerja mencari nafkah yang halal bagi keluarga, namun karena iming-iming uang dan benda-benda berharga lainnya kita malah justru terjebak pada perbuatan-perbuatan yang haram. Karenanya, teguhkan niat, bahwa segala sesuatu yang kita lakukan tujuannya hanya untuk Yang Maha Baik dan Pemberi Kebaikan, yaitu Allah SWT.
Sebagaimana Rasulullah SAW. bersabda: Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khattab radhiallahuanhu, dia berkata, "Saya mendengar Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.
Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (Mutaffaqun ‘alaihi)
Ingat wahai saudaraku! Apa bila meniatkan segala sesuatu karena kekuasaan, demi Allah pasti berakhir kekuasaan itu. Kalau meniatkan sesuatu karena kekayaan, demi Allah kekayaan tidak akan dibawa mati. Kalau meniatkan sesuatunya untuk populer, belum tentu populer kebaikannya, bisa jadi popularitas dimilikinya justru menjadi aib bagi dirinya sendiri. Sekali lagi mari luruskan niat, karena apabila niatnya salah, maka kelakuannya pun akan salah. Bila niatnya baik, maka kelakuannya pun akan baik. Niat adalah pondasi untuk beramal/berbuat aktivitas ruhani dan aktivitas jasmani.