REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada Juli 1936, Jenderal Francisco Franco yang dibantu oleh rezim fasis Italia dan Nazi Jerman, melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Republik Spanyol. Pemberontakan itu menyebabkan terjadinya perang saudara di Spanyol sepanjang 1936-1939. Kota Ceuta pun menjadi salah satu korban pertama dari konflik tersebut.
"Pasukan Franco menindas warga Ceuta. Sementara, pada saat yang sama, kota ini juga mendapat serangan udara dan laut dari pasukan militer dari pemerintah republik yang resmi," tulis Hugh Griffin dalam buku History of Ceuta, Ahad (22/3).
Ketika Spanyol mengakui kemerdekaan Maroko pada 1956, Ceuta dan sejumlah tempat lainnya di kawasan pantai utara Maroko--yang mencakup Melilla dan Kepulauan Alboran--tetap berada di bawah kendali Spanyol. Pemerintah Spanyol menganggap wilayah tersebut bagian integral yang tak terpisahkan dari negara mereka. Namun, Kerajaan Maroko membantah argumen tersebut.
Sebelumnya, Maxime Serignac dalam artikelnya yang berjudul "Spanish enclaves of Ceuta and Melilla ine xorably Mo roccan?," mengungkapkan, populasi umat Islam di Ceuta terus mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu. Dia pun memperkirakan, akan ada perubahan yang cukup signifikan terhadap demografi Ceuta dalam beberapa dekade mendatang.
Meningkatnya jumlah penduduk keturunan Maroko secara pesat, kata Serignac, dapat menggeser posisi umat Kristen selaku kelompok mayoritas saat ini. Kondisi tersebut nantinya bakal menciptakan lingkungan politik yang menguntungkan bagi kaum Muslimin di kota itu.
Tanda- tanda nya pun sudah mulai tampak hari ini. Terhitung mulai 2010, Pemerintah Otonomi Ceuta akhirnya menetapkan Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Kurban sebagai hari libur resmi di kota itu. Sejak runtuhnya pemerintahan Islam di Granada pada 1492, ini merupakan pertama kalinya hari besar keagamaan di luar Kristen dirayakan di Spanyol.