Rabu 11 Mar 2015 16:23 WIB

Dinar dan Dirham untuk Kemaslahatan Umat

Rep: c71/ Red: Damanhuri Zuhri
Dinar dan dirham.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Dinar dan dirham.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggerak penerapan muamalah dinar dan dirham di Indonesia, Zaim Saidi menilai sistem uang kertas saat ini merugikan dan mengarah pada riba.

Zaim mendorong agar masyarakat bisa memahami hal itu dan mencoba keluar dari sistem yang selama ini justru menimbulkan efek negatif lewat penggunaan uang kertas dan banking system.

"Sistem uang kertas merugikan dan merupakan riba. Masalahnya, riba di zaman modern ini sudah menjadi sistem. Masyarakat harus memahami hal itu agar kita bisa keluar," ujar Zaim kepada Republika, Rabu (11/3).

Pernyataan Zaim pun disampaikan dalam seminar internasional bertajuk Mengembalikan Dinar dan Dirham sebagai Mata Uang Syariat dalam Perjuangan untuk Menyelamatkan Perekonomian Global yang diselenggarakan pihak universitas bekerjasama dengan Yayasan Pengurusan Ilmu, Malaysia.

 

Zaim menilai solusi yang tepat untuk saat ini yaitu melalui perdagangan. "Seperti yang ada di Alqur'an, Allah SWT menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba," ujar Zaim. Akan tetapi, kata Zaim, yang diperlukan adalah perdagangan yang sehat dan bermaslahat untuk masyarakat.

Menurut Zaim, dalam praktek jual beli harus ridho sama ridho sehingga penggunaan alat tukar tidak boleh dipaksakan. Terlebih lagi saat ini sistem mata uang disekat dengan nasionalisme.

Padahal, kata Zaim, semestiny masyarakat diberi kebebasan. "UU mata uang yang memaksa satu jenis mata uang pun harus diubah," ujar Zaim.

Perdagangan juga harus adil. Solusinya, ujar Zaim, adalah dengan menggunakan dinar dirham yang secara universal diterima di seluruh dunia. Selain itu, perdagangan adil juga harus kontan. "Sistem kredit boleh tapi tidak ada bunga. Ini artinya melalui bunga ada penggelembungan nilai dalam sistem uang," ujar Zaim.

Zaim mengaku saat ini perekonomian justru semakin lemah karena mata uang. "Depresiasi atau penurunan nilai mata uang jelas terjadi. Sedangkan itu tidak akan berlaku untuk dinar dan dirham," ujarnya.

Zaim berharap Muhammadiyah yang terus menyelenggarakan seminar tentang dinar dan dirham di tanah air bisa mendukung penggunaannya sebagai mata uang. "Mungkin bisa saja berawal dari gerakan di internal Muhammadiyah. Saya yakin itu bisa menular karena ini untuk kemaslahatan umat," ujar Zaim.

Meski begitu, Anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah, Fathurrahman Djamil menyatakan pihaknya belum bisa mengeluarkan pendapat resmi. Menurutnya, pertimbangan kemaslahatan dan kemudahan sesuai dengan asas tarjih lebih melihat pada upaya menjaga kestabilan mata uang.

Oleh karena itu, Muhammadiyah belum akan mendorong penggunaan dinar dan dirham dalam transaksi jual beli. "Jadi, penggunaan mata uang bisa dari emas (dinar), perak (dirham), dari tembaga atau fulus, maupun uang kertas," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement