Senin 02 Mar 2015 19:29 WIB

'NU Lahir dari Keislaman dan Cinta Tanah Air'

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Indah Wulandari
Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama  Majelis Ulama Indonesia (MUI), Slamet Effendy Yusuf
Foto: ROL/Fian Firatmaja
Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI), Slamet Effendy Yusuf

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Sebagai salah satu organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar di Indonesia, Komitmen Nahdlatul Ulama (NU) dalam menjaga keutuhan NKRI tidak perlu diragukan lagi.

Organisasi yang dirintis oleh KH Hasyim Asy’ari tersebut memang memiliki visi kebangsaan yang kuat sejak awal berdirinya.

“NU itu lahir dari dua akar. Yang pertama adalah akar keislaman, sedangkan yang satunya lagi adalah rasa cinta Tanah Air,” ujar Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Slamet Effendy Yusuf, kepada Republika.

Menurutnya, loyalitas NU terhadap tanah air tidak pernah surut dalam kondisi darurat sekalipun. Ketika kaum Muslimin menghadapi dilema di antara kepentingan agama dan kepentingan bangsa, NU mampu mengambil sikap politik kebangsaan yang tegas demi kemaslahatan umat.

Fakta itu dapat dilihat dari beberapa catatan sejarah perjalanan bangsa Indonesia.Beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pemerintah Belanda lewat organisasi Netherlands Indies Civil Administration (NICA) berusaha menancapkan kembali kekuasaannya di Indonesia.

Menghadapi situasi tersebut, KH Hasyim Asy’ari bersama wakil-wakil dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya pada 21-22 Oktober 1945.

Para ulama itu lantas mendeklarasikan perang mempertahankan kemerdekaan sebagai perang suci alias jihad. Belakangan, deklarasi tersebut lebih dikenal dengan istilah ‘Resolusi Jihad’.

Isinya, antara lain menegaskan bahwa membela tanah air hukumnya adalah fardhu ain (kewajiban yang bersifat perorangan) bagi setiap orang Islam di Indonesia. Kaum Muslimin yang berada 10 km dari pusat pertempuran wajib ikut berperang melawan Belanda.

“Selain itu, umat Islam juga wajib memberi bantuan kepada para pejuang, baik berupa logistik, doa, maupun bantuan dalam bentuk lainnya,” imbuh Slamet.

Selanjutnya, selama dua dekade awal pascakemerdekaan, muncul sejumlah pemberontakan yang dimotori Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Kelompok pimpinan Kartosuwiryo itu mencoba merongrong keutuhan NKRI dari dalam.

Umat Islam di Tanah Air pun sempat dibingungkan lantaran DI/TII membawa-bawa nama Islam dalam berbagai gerakannya. Namun, NU ketika itu secara tegas menyatakan berpihak kepada Sukarno selaku pemimpin negara.

Itu dikarenakan NU memandang NKRI sebagai hasil perjuangan panjang umat Islam di seluruh Nusantara yang mesti dijaga keutuhannya. Di samping itu, fikih politik NU yang ditetapkan pada 1954 menjelaskan pula, Presiden RI termasuk waliyul amri dharuri bisy syaukah (pemimpin yang memiliki legitimasi dalam keadaan darurat karena kekuasaannya).

“Oleh karenanya, kekuasaan yang sah tidak boleh serta-merta diganti begitu saja dengan kekuatan lain, meskipun kelompok yang melakukan makar itu membawa-bawa nama Islam. Menaati pemimpin negara untuk menghindari perpecahan di kalangan umat lebih maslahat. Ini menjadi bagian dari visi kebangsaan NU sampai sekarang,” katanya.

Menurut Slamet, sikap kebangasaan NU masih tetap relevan dengan dinamika sosial politik Indonesia hari ini.

Apalagi, berbagai macam ideologi transnasional yang berkembang akhir-akhir ini mulai menggerus rasa cinta Tanah Air di sebagian kalangan umat. Salah satunya, ideologi khilafah yang diusung oleh kelompok-kelompok tertentu—yang mencoba mempersoalkan model nation state (negara bangsa) Indonesia.

Sepintas, kata Slamet, ideologi khilafah tersebut tampak seolah-olah Islami. Tetapi, menurutnya itu hanyalah pemahaman yang keliru tentang hubungan agama dan negara. Mengganti NKRI dengan sistem khilafah adalah ahistoris karena itu berarti mengabaikan perjuangan umat Islam Nusantara.

Mulai dari Sultan Baabullah di Ternate, Pati Unus di Demak, Imam Bonjol di Sumatra Barat, Teuku Umar di Aceh, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, hingga Jenderal Sudirman.

“Yang terjadi kemudian adalah negara-negara Muslim yang sudah mapan pun malah diobrak-abrik,” tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement