Selasa 24 Feb 2015 13:27 WIB

Pembatalan UU SDA, Awal Evaluasi UU tak Prorakyat

Rep: c 14/ Red: Indah Wulandari
 Warga saling siram di mata air Irung-Irung pada Cihideung Festival 2014 di Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Ahad (26/10).  (Republika/Edi Yusuf)
Warga saling siram di mata air Irung-Irung pada Cihideung Festival 2014 di Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Ahad (26/10). (Republika/Edi Yusuf)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pembatalan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai menjadi pintu masuk bagi pembatalan sejumlah regulasi yang tak menguntungkan bagi rakyat.

"Pembatalan UU SDA ini bisa menjadi pintu bagi judicial review terhadap UU lain yang senada (bertentangan dengan konstitusi). Karena memang, banyak UU lain yang memberi ruang sangat besar bagi para pemodal untuk mengelola sumber daya alam," ujar  juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto, Selasa (24/2).

Ismail mencontohkan UU Minyak dan Gas (Migas) serta UU Penanaman Modal Asing (PMA). Menurut Ismail, dalam kedua regulasi tersebut, nyaris tidak ada mekanisme yang berarti untuk menahan laju penetrasi modal asing menguasai pengelolaan sumber daya alam Indonesia.

"Kalau dulu, mekanismenya masih ada. Tapi, sekarang BUMN tidak mendapatkan hak prioritas karena memang tidak ada regulasi yang mengamanahkan secara imperatif kepada negara," ujar Ismail.

Menurut Ismail, terkait pengelolaan tambang, Indonesia sudah sangat liberal. Maka, kata Ismail, UU Migas semestinya dicabut karena tidak efektif. Buktinya, BUMN seperti Aneka Tambang kalah saing dengan perusahaan swasta domestik Bumi Resources dan Freeport.

"UU migas mestinya dicabut. Jadi jangan sekadar penghapusan BP Migas, yang lantas jadi SKK Migas. Toh keduanya sama saja," pungkas Ismail.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement