Selasa 06 Jan 2015 21:30 WIB

Karya Kritikus Islam Menyadur Orientalis

Rep: Heri Purwata/ Red: Agung Sasongko
Orientalisme (ilustrasi)
Foto: roukoz.com
Orientalisme (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Untuk memahami bagaimana kritik tentang  Islam, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Fahruddin Faiz melakukan riset melalui pemikiran Ibn Warraq. Ibn Warraq merupakan salah satu pionirnya. Ibn Waraq adalah seorang penganut Islam yang kemudian keluar dari Islam dan menganut jalan agnostis.

Dalam disertasinya, Faiz ingin mengungkap dua permasalahan yaitu pertama, latar belakang historis munculnya pemikiran destructive-criticism, yang ditelaahnya melalui pendekatan hermeneutika. Kedua, konstruksi pemikiran destructive-criticisme yang dikembangkan Ibn Warraq ditelaah melalui pendekatan filsafat.

Hasil analisis risetnya, Fahruddin Faiz berhasil mengungkap bahwa, pemikiran destructive-criticism yang dikembangkan Ibn Warraq hakekatnya adalah sejenis neo-orientalisme, yakni pengulangan kembali ide-ide destruktif para orientalis awal tentang Islam yang ditegaskan kembali dengan dukungan dari fakta-fakta baru dan argumen-argumen baru.

Ibn Warraq membagi Islam menjadi tiga cluster yaitu Islam pertama,  tentang Alquran dan kandungannya. Kedua, Islam Dua tentang Nabi Muhammad dan Sunnah-nya. Cluster ketiga, tentang praktek keberagamaan umat Islam.

Ketiga cluster Islam ini mendapat kritikan keras dari Ibn Warraq. Pada cluster pertama, dikritisi karena kebahasaan Alquran yang dianggap mendapat banyak pengaruh dari luar Islam. Pada cluster kedua, Ibn Warraq mengkritisi moralitas Nabi Muhammad serta kepandaiannya mengarang ajaran Islam. Pada cluster ketiga, Ibn Warraq mengritisi praktek keberagamaan sebagian umat Islam yang destruktif.

Dijelaskan Faiz, secara hermeneutis, destructive-criticism tentang Islam yang diusung Ibn Warraq banyak dipicu kekecewaan  historis yang dialami Ibn Warraq sendiri. Situasi  tanah airnya (Pakistan) yang sibuk dengan konflik antar mazdab, antara agama dan negara, serta kondisi keluarganya yang diwarnai tarikan-tarikan antara Islam konservatif yang diwakili oleh neneknya dan Islam modern yang diwakili ayahnya. Juga model pendidikan madrasah yang dogmatis-militan, memberikan warna tersendiri dalam dirinya.

Pengalaman hidup di dunia Barat yang memiliki world-view yang berkebalikan dengan kehidupan di tanah airnya, mendorongnya untuk membandingkan keduanya. Akhirnya, ia memutuskan bahwa Barat-lah yang patut ditiru dengan segala kesuksesannya di masa kini.

Peristiwa-peristiwa insidental seperti fatwa mati untuk Salman Rushdie, kartun pelecehan Nabi Muhammad di Harian Jylland Postend Denmark, pengeboman WTC dan berbagai fatwa sejarah Islam yang negatif, turut membentuk opininya tentang serba negatifnya Islam dan ajarannya.

Dari analisis risetnya,  juga mencatat bahwa, pergaulan Ibn Warraq dengan sesama mantan Muslim yang kemudian berbalik mengkritisi Islam, serta keberpihakan terhadap semua kajian orientalis yang membenci Islam menjadi pendorong yang luar biasa bagi aktivitas Destructive-Criticism-nya. Hampir semua karya ibn Warraq merupakan nukilan dan saduran dari karya para orientalis ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement