Ahad 16 Nov 2014 01:03 WIB

Ini Penyebab Pengembangan Ekonomi Pesantren Jalan di Tempat

Rep: C78/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Suasana kegiatan santri di salah satu pondok pesantren.
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Suasana kegiatan santri di salah satu pondok pesantren.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Cara mainstream pesantren Indonesia yang menggantungkan kelangsungan pembiayaan dari sektor agraris dinilai sebagai factor utama lambatnya pengembangan ekonomi di sana. Dalam perkembangannya, pemikiran tersebut kemudian membuat pesantren kebanyakan menjadi tak kuat ekonominya dan menggantungkan pembiayaan pada donatur yang tak teratur. 

“Kebanyakan pesantren lahir dan besar di masyarakat agraris, situasinya, lahan agraris semakin terkikis dan aset pesantren pun ikut menipis,” kata pengasuh pesantren Al Ittihad Poncol Solotigo Jawa Tengah Arifin Junaidi kepada ROL pada Sabtu (15/11).

Ia yang juga Ketua PP Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (NU) mencontohkan pesantrennya sendiri. Diceritakannya, dulu ketika didirikan oleh sang kakek, tanah yang dimiliki pesantren sangatlah luas, sekitar seratus hektar.

Lantas, ketika meninggal, lahan yang merupakan warisan tersebut dibagikan kepada anak-anaknya, kepada cucu-cucunya, dan semakin sempitlah lahan pesantren. Padahal, lahan tersebut ditanami hasil pertanian yang penjualannya sangat diandalkan untuk membiayai pesantren.

Melihat situasi ini, para pengurus pesantren tak lantas beralih profesi menjadi pedagang atau pengusaha. Pada akhirnya, pengembangan perekonomian di pesantren pun terhambat. Makanya, sejak sekarang ia mengimbau agar pesantren memperhatikan kemandiriannya.

Dimulai dari keluar dari pemikiran mainstream mereka yang melulu mengandalkan hasil agraria. Mengupayakan hal tersebut, dukungan pihak pengusaha dan pemerintah pun penting. Yakni dari sisi pelatihan kewirausahaan, permodalan serta pelatihan manajemen usaha.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement