Ahad 02 Nov 2014 09:09 WIB

Ihsan Sebagai Penjaga

Dzikir
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Dzikir

Oleh: Hannan Putra

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Hebatnya gejolak syahwat yang meliputi setiap jiwa anak muda juga dirasakan oleh para nabi. Seperti Nabi Yusuf AS, pada usianya yang muda belia lagi lajang, Yusuf muda juga memiliki gelora syahwat layaknya manusia normal. Lantas, bagaimanakah jadinya jika seorang anak muda dalam kondisi ini dirayu seorang wanita cantik untuk berbuat maksiat?

Inilah yang dikisahkan Allah SWT dalam Alquran. "Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya." (QS Yusuf [12]: 24).

Anak muda mana yang tidak tergiur berbuat maksiat dalam kondisi tersebut. Apa yang kurang dari Zulaikha? Seorang wanita cantik, kaya raya, dan bangsawan. Seluruh yang diinginkan laki-laki ada pada dirinya. Yusuf dan Zulaikha hanya berdua saja dalam rumahnya. Pemuda manakah yang bisa selamat jika menjadi Yusuf dalam kisah tersebut?

Dalam satu riwayat disebutkan, tatkala Zulaikha dan Yusuf hendak memulai melakukan maksiat, Zulaikha meminta izin. Ia menutup sebuah patung yang ada di rumahnya dengan kain. Bertanyalah Yusuf, mengapa patung itu harus ditutupi kain.

"(Patung) itu tuhan saya. Saya malu jika ia melihat saya (melakukan maksiat)," jawab Zulaikha. Inilah tafsir dari tanda yang dimaksudkan dalam ayat tersebut. Sebuah kiasan dari Allah SWT bahwa Dia Maha Menyaksikan segala sesuatu.

Yusuf pun menangis. "Apakah engkau merasa malu dengan patung yang tidak dapat melihat atau mendengar itu? Patung itu juga tidak dapat memberi manfaat atau mudharat (jika ia murka melihat engkau bermaksiat). Patung itu tidak pula hidup dan tidak dibangkitkan. Sedangkan aku takut kepada Allah yang Maha Mengatur seluruh urusan makhluk-Nya," ujar Yusuf dengan terbata-bata.

Yusuf pun sadar, Tuhannya Maha Melihat dan Maha Menyaksikan apa yang dilakukan hamba-Nya. Tuhan yang disembah Yusuf tidak pernah tidur maupun lalai. Seharusnya, ia yang lebih malu untuk bermaksiat. Yusuflah yang semestinya takut dengan murka Tuhannya jika ia bermaksiat, sedangkan Tuhannya menyaksikan. Kesadaran inilah yang membuncah dalam dada seorang Yusuf muda yang masih belia itu. Inilah yang membuatnya lari dan membatalkan niat awalnya untuk bermaksiat.

Jika setiap Muslim memperhatikan "tanda" yang diberikan Allah kepadanya, serta menyadari kehadiran Allah dalam setiap gerak dan langkahnya, mustahil ia bisa bermaksiat kepada Allah. Bagaimana mungkin seorang Muslim yang sadar bahwa ia hidup di bumi Allah, menghirup udara milik Allah, dan memakan rezeki dari Allah, kemudian ia bermaksiat di hadapan mata Allah? Tidakkah ia malu kepada Tuhannya untuk melakukan maksiat. Ke manapun ia pergi, tidak akan bisa bersembunyi dari mata Allah yang Maha Melihat.

Kesadaran akan hadirnya Allah dalam setiap helaan nafasnya inilah yang menyelamatkan Nabi Yusuf. Kesadaran itu pula yang bisa menyelamatkan para hamba dari bermaksiat kepada Sang Khaliq. Betapa banyak "tanda" yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Semua tanda tersebut sangatlah terang dan terlihat. Seorang yang bermaksiat pasti berontak hatinya melihat "tanda" yang terlihat nyata oleh matanya, terdengar oleh telinga, dan sangat terasa di hatinya. Namun, "tanda" tersebut ia sembunyikan dan dibuang jauh-jauh. Ia berpura-pura seakan Allah tidak menyaksikan perbuatan maksiatnya.

Merasakan kehadiran Allah inilah yang disebut dengan ihsan. Rasulullah SAW mendefinisikan ihsan dalam hadisnya, "Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya maka yakinlah Dia Maha Melihat kepadamu." (HR Muslim).

Setiap mukmin, harus memiliki tiga unsur sebagai pembangun agama dalam dirinya. Tiga unsur itulah, iman, Islam, dan ihsan. Banyak orang yang sanggup menunaikan kelima rukun Islam, memercayai keenam rukun iman, namun tidak sanggup berihsan secara sempurna. Seorang Muslim dapat menunaikan zakat dengan jumlah yang banyak, menunaikan haji ke Tanah Suci, namun masih saja melakukan apa yang dilarang Allah. Hal ini membuktikan, tingkat ihsan yang ada pada dirinya masih kurang. Sehingga tidak ada yang bisa mencegahnya jika ia ingin bermaksiat. Ia tidak merasakan kehadiran Allah yang Maha Menyaksikan segala perbuatannya.

Dalam berihsan, Nabi Yusuf telah memperlihatkan sebuah teladan yang nyata. Pada masa pergolakan jiwa mudanya yang masih lajang dan mencari jati diri, ia sudah dihadapkan pada ujian maha berat. Tak banyak orang yang bisa selamat dari godaan maut tersebut. Namun, ia tidak membohongi dirinya. Secara jujur ia membaca "tanda" sebagai pesan Allah bagi dirinya. Ia menghadirkan Allah sebagai Tuhan yang Maha Melihat dan Menyaksikan segala perbuatannya. Sikap ihsan inilah yang bisa menyelamatkan manusia, sebagaimana ia telah menyelamatkan Yusuf dari godaan maha dahsyat itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement