REPUBLIKA.CO.ID,
Islamofobia menjadi tantangan utama.
Sejarah Islam di Swedia memiliki akar yang cukup kuat. Eksistensi risalah samawi di negara monarki tersebut berawal pada abad ke-18. Ketika itu, negara yang berbatasan dengan Norwegia di sebelah barat itu bersekutu dengan Kekhalifahan Ottoman.
Persekutuan ini nembuat Raja Swedia Carl XII berada di bawah bayang-bayang perlindungan Dinasti Ottoman. Faktor kedekatan itulah yang menjadi modal mendasar, mengapa negara yang ibu kotanya berada di Stockholm itu memberikan kebebasan beragama kepada umat Islam meski Muslim adalah minoritas.
Puncaknya pada 1970, ketika Swedia membuka pintu untuk para imigran, banyak Muslim berbondong-bondong datang ke negara yang bergabung dengan Uni Eropa pada 1995 itu. Swedia yang termasuk negara maju menampung imigran dari Timur Tengah, terutama Iran dan Irak.
Selain para imigran dari Timur Tengah, kelompok Muslim terbesar kedua yang datang ke negara yang pernah didaulat menjadi salah satu wilayah termiskin di Eropa pada abad ke-19, terdiri dari imigran Yugoslavia yang didominasi oleh para pengungsi. Dari sebagian mereka terdapat pula orang-orang Bosnia.
Gejolak kedatangan imigran Muslim itu mendorong pertumbuhan jumlah Muslim yang sangat signifikan di negara padat penduduk itu.
Menempati urutan ke-155 dalam jajaran negara yang mempunyai kepadatan penduduk di dunia, Islam berkembang di Swedia.
Sebuah sensus menunjukkan, pada 2000, Muslim Swedia berjumlah 300 ribu atau 3,5 persen dari populasi penduduk yang berjumlah sembilan juta jiwa.