Oleh: Prof H Dadang Kahmad
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baginda Rasulullah Muhammad SAW diutus kepada manusia untuk memuliakan akhlak. Salah satu teladan yang patut dicontoh adalah kasih sayangnya yang tiada batas. Seperti kisah masyhur tentang pengemis Yahudi buta yang selalu mencaci maki beliau.
Setiap hari bila ada orang yang mendekatinya, pengemis itu selalu berkata, “Wahai, saudaraku, janganlah kau dekati Muhammad! Dia itu orang gila, pembohong, dan tukang sihir. Apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya.”
Padahal, setiap pagi hingga wafatnya, Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawa makanan. Tanpa berkata sepatah katapun, beliau menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis yang tak mengetahui identitas si pemberi makanan.
Setelah baginda Rasulullah SAW wafat, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis tersebut. Suatu hari, sahabat Abu Bakar ra berkunjung ke rumah anaknya, Aisyah ra.
Beliau bertanya kepada anaknya, “Anakku, adakah sunah kekasihku yang belum aku kerjakan?” Aisyah ra menjawab, “Wahai Ayah, engkau adalah seorang ahli sunah. Hampir tidak ada satu sunah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu hal. Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana.”
Keesokan harinya, Abu Bakar pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu, sebagaimana yang biasa dilakukan Rasulullah SAW. Abu Bakar mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan kepadanya. Ketika Abu Bakar mulai menyuapinya, si pengemis berteriak, “Siapakah kamu?”
Abu Bakar menjawab, “Aku orang biasa.” “Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku,” jawab pengemis buta itu. “Apabila ia datang kepadaku, tidak susah tangan ini memegang, tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku. Tetapi, terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya. Setelah itu, ia berikan kepadaku dengan mulutnya sendiri,” pengemis itu melanjutkan perkataannya.
Abu Bakar tidak dapat menahan air matanya. Ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya. Orang yang mulia itu kini telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW.”
Pengemis itu pun menangis dan kemudian berkata, “Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya. Tetapi, ia tidak pernah memarahiku sedikit pun. Ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi. Ia sungguh begitu mulia.” Pengemis Yahudi buta akhirnya bersyahadat di hadapan Abu Bakar. Begitulah energi kasih sayang yang tulus, dapat menggetarkan jiwa yang asalnya penuh kebencian berganti menjadi rasa kagum dan cinta.
Dalam keseharian, umat Islam selalu melafalkan kalimat yang terkait kasih sayang. Setiap untaian kalimat indah surah dalam Alquran satu bagian dengan bagian lainnya disambungkan dengan kalimat “bismillahirrahmanirrahim” kecuali pada surah at-Taubah.
Mungkin, inilah nilai kandungan makna dari sifat Allah ar-Rahman yang Maha Kasih Sayang. Ketika seseorang berbuat seperti sifat Allah dengan penuh kasih sayang maka energi kasih sayang itu akan mengalir memasuki relung jiwa yang dikasihsayanginya. Energi kasih sayang itu pun menyebar luas saling memberi kebaikan bagi sesama.
Betapa sifat kasih sayang Allah yang demikian luasnya ini merupakan karunia nikmat yang tiada bisa manusia hitung. Sebagai bukti kecintaan Allah kepada manusia penebar kasih sayang meneladani sifat kasih sayang-Nya, kekasih dan utusan Allah, Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Sayangilah yang ada di muka bumi, niscaya engkau akan disayangi oleh siapa yang ada di langit.” (HR Ath-Thabroni dan Al Hakim). Wallahu’alam.