Oleh: Hafidz Muftisany
Dalam hadis lain, dari Iyas Ibnu Salamah dari ayahnya ia berkata, “Rasulullah SAW memberikan keringanan pada tahun Authas untuk melakukan mut’ah selama tiga hari kemudian melarang praktik tersebut.” (HR Muslim).
Dengan dasar itu, jumhur ulama mengharam kan praktik nikah mut’ah. Dalam surah al-Mukminun ayat 5-6, Allah berfirman, “Dan (di antara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap istri atau jariah mereka. Maka, sungguh mereka dalam hal ini tidak tercela.” Wanita yang dinikahi mut’ah bukan termasuk istri atau jariah dalam hal ini.
Meskipun dilaksanakan akad layaknya pernikah an, ada beberapa perbedaan antara akad nikah dan mut’ah. Akad mut’ah tidak saling mewarisi, iddah mut’ah tidak seperti iddah nikah, seorang yang mut’ah tidak dianggap muhsan, nikah mut’ah bisa dengan sebanyak-banyaknya wanita, nikah mut’ah bertentangan dengan tujuan pernikahan yakni melanggengkan keturunan.
Dalam konteks Indonesia, praktik nikah mut’ah dinilai MUI bertentangan dengan Kompilasi Hukum Islam dan UU Perkawainan No 1 Tahun 1974. Padahal, ujar MUI, menaati peraturan pemerintah adalah sebuah kewajiban sesuai dengan kaidah fikih, “Keputusan pemerintah mengikat dan menghilangkan perbedaan.”
Komisi Fatwa MUI yang saat itu diketuai Prof KH Ibrahim Hosen memberi pertimbangan jika mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut Suni dan menolak ajaran mut’ah dalam paham Syi’ah secara umum.
MUI menegaskan kembali dalam Munas MUI tahun 2010 tentang nikah wisata. Nikah wisata juga dinyatakan haram karena hanya diniatkan untuk kebutuhan sesaat. Nikah wisata adalah salah satu bentuk dari nikah mut’ah.
Dasar keharaman dalam hadis disebutkan dari Ali bin Abi Thalib RA, bahwa Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah pada perang Khaibar, juga melarang memakan daging keledai peliharaan (Muttafaq ‘alaih).
Umar bin Khatab RA berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW memberi izin mut’ah selama tiga hari kemudian mengharamkannya. Demi Allah, saya tidak mengetahui satu pun laki-laki yang melakukan mut’ah sementara dia seorang yang pernah menikah kecuali saya rajam dengan batu.” (Ibnu Majah meriwayatkannya dengan sanad shahih).
Ibn al-Humam dalam Fathul Qadir menyebut para ulama berijma’ jika hukum nikah mut’ah adalah haram untuk selamanya.