Jumat 03 Oct 2014 14:07 WIB

Dengarkan Qalbu Anda, Mengapa?

Qalbu (ilustrasi)
Qalbu (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Prof Dr Ahmad Tafsir pada acara Publikasi Kegiatan Qolbu Linguistic Program ming (QLP) untuk Para Guru di Ruang Muallim KH M Syafi`i Hadzami (Audio Visual) Jakarta Islamic Centre (JIC) akhir tahun lalu menyatakan pendidikan di Indonesia memang selama ini sudah salah arah. Profesor yang mendapat julukan Bapak Pendidikan Karakter Indonesia ini melanjutkan pendidikan seharusnya untuk membentuk karakter murid, bukan untuk membuat murid pintar saja. Dan ini sudah ia utarakan dan kampanyekan sejak tahun 80-an.

Akibatnya, sekarang ini, kita sulit untuk mendapatkan satu sosok saja yang layak untuk menjadi pemimpin. Dulu, bangsa ini memiliki banyak stok para pemimpin yang memiliki karakter kuat, seperti Buya HAMKA, M. Natsir, dan lainlain. Prof Dr Ahmad Tafsir adalah orang yang mencetuskan konsep pendidikan karakter di Indonesia.

Menurutnya, karakter merupakan istilah lain dari akhlak. Begitu pentingnya pendidikan karakter ini, sampai-sampai Rasulullah SAW menyatakan bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan kemulian karakter.

William Franklin Graham atau dikenal dengan nama Billy Graham, tokoh kebangunan rohani di Amerika pada abad ke-20 juga manyatakan ketika kekayaan hilang, sebenarnya tiada yang hilang, ketika kesehatan hilang, sebenarnya ada sesuatu yang hilang, ketika karakter hilang, segalanya menjadi hilang.

Namun menurut Prof Dr Ahmad Tafsir belum ada kata terlambat bagi bangsa Indonesia untuk menerapkan konsep pendidikan karakter ini. Pendidikan karakter haruslah dikuatkan di sekolah-sekolah, terlebih di tengah maraknya kenakalan dan tindakan asusila yang dilakukan para pelajar. Caranya, guru lebih menyedikitkan mengajar, tetapi lebih memperbanyak memberikan pembiasaan, keteladanan, pemotivasian, dan penegakan peraturan. Dengan demikian, letak keberhasilannya pendidikan karakter ini ada pada guru.

Gurulah yang harus memberikan pembiasaan kepada murid, menjadi teladan, memberikan moti vasi dan bertanggung jawab terhadap penegakan peraturan. Dengan kata lain, guru harus dapat mentransfer nilai dari sekedar transfer pengetahuan. Maka, pendidikan karakter menjadi gagal jika guru tidak memiliki karakter yang baik dan tidak mampu mentranfer nilai kepada muridnya.

Walhasil, jika guru ingin memiliki karakter yang baik, maka ia harus mendatangi sumber dari pembentuk karakter. Namun, di manakah sumber pembentuk karakter itu berada? Stephen R. Covey seorang penulis asal Amerika Serikat adalah penulis buku laris yang berjudul The 7 Habits of Highly Effective People.

The 7 Habits of Highly Effective People mengulas tentang tujuh kebiasaan manusia yang sangat efektif mencakup banyak prinsip dasar dari efektivitas manusia. Kebiasaan-kebiasaan ini bersifat mendasar; merupakan hal yang primer. Ketujuh kebiasaan ini menggambarkan internalisasi prinsip-prinsip yang benar yang menjadi dasar kebahagiaan dan keberhasilan yang langgeng.

Adapun ketujuh kebiasaan tersebut adalah: Pertama, Proaktif C; kedua, Merujuk Pada Tuju an Akhir ; ketiga, Dahulukan Yang Utama ; keempat, Berpikir Menang/Menang ; kelima, Berusaha Me ngerti Terlebih Dahulu, Baru Dimengerti ; keenam,Wujudkan Sinergi ; dan ketujuh, Asahlah Gergaji.

Kebiasaan ketujuh (Asahlah Gergaji) melingkupi kebiasaan-kebiasaan lain pada Tujuh kebiasaan karena ia adalah kebiasaan yang menjadikan semua kebiasaan lain mungkin. Apa yang diasah oleh gergaji tersebut? Yang diasah adalah dimensi fisik, dimensi spiritual, dimensi mental, dan dimensi sosial atau emosional.

Namun, Stephen Covey terkejut karena banyak perusahaan dan institusi yang menerapkan tujuh kebiasaan tersebut terlibat skandal, melakukan kecurangan-kecurangan dan kejahatan korporasi serta kemudian kolaps. Ia merasa ada yang kurang dari teori Tujuh Kebiasaan tersebut. Ia kemudian melakukan perenungan dan riset untuk mengevaluasi kembali teori atau paradigma Tujuh Kebiasaan.

Maka, ia menerbitkan buku yang berjudul The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness. Di buku ini, ia menambahkan satu kebiasaan lagi sehingga tujuh kebiasaan menjadi delapan kebiasaan. Apa tambahan yang satu dan penting ini? Ialah Anda harus mendengar suara hati nurani atau qalbu Anda!

Dalam ajaran Islam, kebiasaan kedelapan dari rumusan Stephen Covey ini bukan sesuatu yang baru. Stephen Covey baru menemukannya di Abad ke-21 ini, sedangkan Rasulullah SAW sejak seribu empat ratusan tahun yang lalu telah bersabda,"Mintalah fatwa kepada qalbu (hati nurani) mu!"

Iya, orang sekaliber Stephen Covey saja menya dari bahwa hati nurani atau qalbu merupakan sumber pembentuk karakter yang membawa kesuksesan karir dan bisnis seseorang. Maka, para guru dan kita semua yang ingin baik karakternya, maka haruslah membersihkan qalbunya.

Penulis:

Rakhmad Zailani Kiki

Kepala Bidang Pengkajian dan

Pendidikan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement