REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Aturan kontroversial diberlakukan Parlemen Federal Australia. Disebutkan, Muslimah berhijab dilarang untuk menyaksikan proses persidangan secara langsung namun ditempatkan pada satu tempat khusus sebagai gantinya.
Aturan ini segera memicu kemarahan dikalangan pembela hak asasi minoritas. "Tidak ada yang harus diperlakukan seperti warga negara kelas dua. Paling tidak di parlemen," kata Komisaris Diskrimnasi Ras, Tim Southphomasane, seperti dilansir onislam.net, Jumat (3/10). Tim mengungkap belum pernah ada ahli atau analis yang menyimpulkan burka atau niqab berbahaya bagi keamanan parlemen.
Nantinya, tempat khusus itu akan diberi kaca kedap suara. Departemen Pelayanan Parlemen berdalih setiap aparat keamanan akan tahu apa yang terjadi di tempat itu berikut kemudahan identifikasi.
Soutphommasane mengecam keputusan itu. Ia menyatakan bahwa umat Islam harus memiliki hak yang sama. "Muslim Australia berhak atas kesempatan yang adil dan diperlakukan sebagai anggota masyarakat yang setara," tambah komisaris Soutphommasane.
"Jika ada kekhawatiran dengan keselamatan dan keamanan umum, ini pasti akan dipenuhi dengan pemeriksaan keamanan bahwa semua pengunjung diwajibkan untuk menjalani mekanisme itu saat masuk ke Parlemen."
Komisaris HAM Tim Wilson menilai aturan ini merupakan jenis lain dari pembedaan warga negara. "Tidak ada pembenaran untuk itu. Kebijakan itu juga tidak perlu," ucap dia.
Senator Christine Milne menulis bahwa Parlemen harus memperlihatkan satu contoh tanpa perlu menyerang orang lain atau pihak tertentu. "Mekanisme pengamanan sudah ketat. Ini sudah cukup. Namun, usulan saat berusaha untuk secara permanen melarang burqa di Gedung Parlemen bertentangan dengan keberagaman masyarakat Australia," ucap dia.