REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) Universitas Indonesia (UI), Abdul Mutaali, menyatakan Nahdlatul Ulama (NU) jangan menjadi ormas sub-ordinat pemerintah.
"Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, NU seharusnya menjadi ormas penyeimbang pemerintah, bukan sub-ordinat atau pengekor kebijakan pemerintah," tutur Mutaali saat dihubungi Republika Online, Sabtu (30/8) malam.
Menurut Mutaali, NU terlalu besar untuk menjadi ormas pendukung pemerintah. Bahkan, NU akan rugi jika menjadi sub-ordinat pemerintah.
Melihat situasi saat ini, lanjutnya, NU terkesan menjadi ormas pendukung pemerintah, khususnya pasca kepemimpinan almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
"NU hanya berani menjadi organisasi penyeimbang pemerintah di masa kepemimpinan almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Setelah itu, NU tampak selalu mengikuti kebijakan pemerintah," ungkapnya.
Situasi saat ini, jelasnya, memperlihatkan sikap NU yang cenderung mendukung kebijakan pemerintah.
Pertama, pelaksanaan acara Pra Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) NU yang bertepatan dengan Muktamar PKB di Surabaya pada 29 s/d 31 Agustus 2014.
"Tidak dapat dipungkiri PKB adalah partai yang dilahirkan dari rahim NU. Jadi, pelaksanaan Pra Munas dan Konbes NU itu seakan-akan berkompetisi dengan Muktamar PKB," jelasnya.
Hal ini tentu tidak sehat karena NU dibawa ke ranah politik, ingin menunjukkan siapa yang lebih hebat.
Kedua, pendapat NU tentang permasalahan konflik di Timur Tengah yang selalu sama dengan pemerintah, khususnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Misalnya, ungkap Mutaali, terkait pemahaman NU terhadap "Islamic State of Iraq and Syria (ISIS)" dan Al-Qaeda yang sama persis dengan pemahaman BIN dan BNPT.
"Dari kedua kasus ini, NU tampak menjadi ormas sub-ordinat pemerintah atau selalu mengikuti kebijakan pemerintah," papar Mutaali.