Kamis 21 Aug 2014 06:14 WIB

Soal Baha'i, Mendagri dan Menag Dikritik

Makan sang pendiri agama Baha'i.
Foto: Republika/Erik PP
Makan sang pendiri agama Baha'i.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbagai pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi dan Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin tentang agama Baha'i mendapat sorotan. Pengamat Baha'i Indonesia dan Asia Tenggara Amanah Nurish menyatakan, Baha'i sebagai kelompok minoritas di Indonesia yang kemudian eksistensinya direspon oleh Mendagri dan Menag.

Dia menyatakan, Baha'i bukan Islam, Kristen, Katolik, dan lain sebagaianya. Tetapi, Baha'i adalah agama independen dunia yang juga eksis di Indonesia.

Dia menyatakan, beberapa hari lau Mendagri mengeluarkan statemen soal identitas keagamaan umat Baha’i yang menurut pandangannya sangat bersifat diskriminatif terhadap kelompok minoritas, baik umat Baha’i maupun umat-umat agama lainnya, yang secara resmi belum diakui oleh pemerintah dalam pencatuman identitas keagamaan di kolom KTP.

Nurish menyoroti salah satu pernyataan Mendagri yan gmenyinggung bahwa yang diakui di KTP itu enam agama itu. Sehingga pemeluk Baha'i bisa memilih, misalnya masuk kelompok Islam, masuk dalam Islam dia. Bahwa keyakinannya ada Baha’i, silakan untuk dikembangkan. Nanti kalau dimasukkan, agama kecil di daerah yang punya keyakinan leluhur nanti minta juga.

"Pernyataan tersebut menurut saya sangat tidak fair dan terkesan tidak peduli terhadap kelompok minoritas seperti umat Baha’i. Pernyataan Mendagri mengandung unsur pemaksaan terhadap umat Baha’i untuk tetap memilih salah satu dari enam agama resmi dalam kolom KTP," katanya melalui akun Twitter, @djengnurish

Nurish menilai, konstitusi negara belum selesai dalam pendefinisian soal 'agama'. Pemerintah dalam  membuat kebijakan Undang-Undang Keberagamaan, menurut dia, masih bersifat bias dan menyebabkan intoleransi.

Dampaknya, pada akhirnya Undang-undang keberagamaan hanya menguntungkan kelompok mayoritas saja, yang dapat menyebabkan kecemburuan dalam soal identitas bukan hanya diakuinya Baha’i sebagai agama resmi, tetapi soal bagaimana negara mengayomi semua golongan, baik mayoritas maupun minoritas.

"Baha’i adalah agama yang independen, artinya, bukan bagian dari ajaran agama yang sama dengan yang telah tercantum di dalam opsi KTP, tidak masuk akal jika harus memilih satu dari 6 agama yang resmi," kata kandidat doktor dari Indonesian Consortium For Religious Studies (ICRS) Universitas Gadjah Mada tersebut.

Dia melanjutkan, bayangkan, bagaimana misalnya seorang Muslim disuruh memilih Kristen, Hindu, Budha, dan lain-lain dalam kolom agama di KTP. Dia berharap, Semoga saja Menag bukan hanya sekadar mencari sensasi di media-media dengan melempar wacana Baha’i tanpa ada penjelasan introduksi yang ujung-ujungnya tidak ada kepastian hukum sebagai solusi.

"Logika ini sama halnya memperkeruh persepsi masyarakat awam yang belum paham tentang agama Baha’i. Pak Menag terkesan menjadi faktor memperburuk keadaan yang akan berimplikasi pada stigma negative tentang umat Baha’i," tuding Nurish.

Nurish merasa geram jika kepastian dan perlindungan hukum belum juga diakui sebagai agama resmi dan tercantum dalam kolom KTP. Pasalnya, selama ini diskriminasi yang dialami umat Baha’i di Indonesia terjadi karena masalah identitas keagamaan di kolom KTP yang implikasinya ke arah hak-hak warga negara dan stigma sosial, misalnya pemeluk Baha’i disebut sebagai aliran sesat, PKI, dan sebagainya.

"Dan, malah ada yang menuduh Baha’i sebagai atheis karena di KTP kolom agamanya kosong. Padahal jelas dalam UUD 1945 pasal 28 E (1) tertera bahwa setiap individu bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya masing-masing.".

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement