REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wachidah Handasah
“Para ilmuwan Muslim pada era kejayaan Turki Utsmani telah melakukan studi mengenai musik sebagai alat untuk pengobatan,” papar Prof Nil Sari.
Menurut dia, para ilmuwan dari Turki Utsmani itu sangat tertarik untuk mengembangkan efek musik pada pikiran dan badan manusia.
Tak heran jika Abbas Vesim (wafat 1759/60) dan Gevrekzade mengusulkan agar musik dimasukkan dalam pendidikan kedokteran. Keduanya berpendapat, seorang dokter yang baik harus melalui latihan musik.
Usulan Vesim dan Gevrekzade itu diterapkan di universitas-universitas hingga akhir abad pertengahan. Sekolah kedokteran pada saat itu mengajarkan musik serta aritmatika, geometri serta astronomi kepada para mahasiswanya.
Teori terapi musik
Menurut Prof Nil Sari, masyarakat Turki pra-Islam meyakini kosmos diciptakan oleh Sang Pencipta dengan kata kun (suara).
Mereka meyakini awal terbentuknya kosmos berasal dari suara. Menurut kepercayaan Islam, seperti yang tertulis dalam Alquran, Allah SWT adalah Pencipta langit dan bumi.
“... Dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: 'Jadilah'. Lalu jadilah ia.” (QS Al-Baqarah:117).
Setelah Islam bersemi di Turki, masyarakat negeri itu masih tetap meyakini kekuatan suara. Inilah yang membuat peradaban Islam di era Turki Utsmani meyakini musik dapat menjadi sebuah alat terapi yang dapat menyeimbangkan badan, pikiran, dan emosi sehingga terbentuk sebuah harmoni pada diri seseorang.
Prof Nil Sari mengungkapkan, para ahli terapi musik di zaman Turki Utsmani meyakini pasien yang menderita penyakit tertentu atau emosi seseorang dengan temperamen tertentu dipengaruhi oleh ragam musik tertentu.
“Para ahli musik di era Turki Utsmani menyatakan, makam (tipe melodi) tertentu memiliki kegunaan pengobatan tertentu juga,” papar Prof Nil Sari.