Kamis 07 Aug 2014 15:12 WIB

Abuya Dimyati, Ulama Banten yang Disegani (2-habis)

Rep: Amri Amrullah/ Red: Chairul Akhmad
KH Muhammad Dimyati bin Muhammad Amin al-Banteni.
Foto: Wordpress.com/ca
KH Muhammad Dimyati bin Muhammad Amin al-Banteni.

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam bidang tasawuf, Mbah Dim menganut tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah dari Syekh Abdul Halim Kalahan. Tetapi praktik suluk dan tarekat, Mbah Dim hanya mengajarkan Tarekat Syadziliyah dari Syekh Dalhar.

Itu sebabnya, dalam perilaku sehari-hari ia tampak tawadhu’, zuhud, dan ikhlas. Banyak dari beberapa pihak maupun wartawan yang mencoba untuk mempublikasikan kegiatannya di pesantren, selalu ditolak dengan halus oleh Mbah Dim. Ia tak segan-segan menolak sumbangan dari pejabat.

Pernah suatu ketika,  Mbak Tutut, putri mantan presiden Soeharto yang akan memberi sumbangan Rp 1 miliar, tetapi akhirnya sumbangan itu dikembalikan.

Ada hal unik lain dari Mbah Dim, ia tidak akan memulai shalat dan mengaji, kecuali putra-putrinya yang hafiz Alquran itu sudah duduk rapi, berjajar di barisan shaf shalat. Jika belum datang, kentongan sebagai isyarat waktu shalat pun dipukul lagi bertalu-talu. Ini dilakukan sampai semua hadir dan shalat jamaah pun dimulai.

Kepopuleran Mbah Dim setara dengan Abuya Busthomi (Cisantri) dan Kiai Munfasir (Cihomas). Mbah Dim adalah tokoh yang senantiasa menjadi pusat perhatian, yang justru ketika ia lebih ingin “menyedikitkan” bergaul dengan orang lain demi mengisi sebagian besar waktunya dengan mengaji Alquran.

Ada beberapa kitab yang ditulis oleh Mbah Dim, di antaranya Minhaj al-Ishthifa. Kitab yang ditulis pada Rajab 1379 H/ 1959 M itu berisikan tentang wirid-wirid berkualitas, seperti hizb nashr dan ikhfa.

Dalam bidang biografi, ia pernah menulis Ashl al-Qadr tentang keistimewaan para sahabat saat Perang Badar. Buah produktivitas dan keteladanan yang ia wariskan, akan tetap kekal sekalipun ia telah dipanggil Sang Khaliq pada 3 Oktober 2003.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement