REPUBLIKA.CO.ID, Kehadiran kamus dalam dunia Islam sangat vital dan urgen. Kamus dapat menjelaskan makna-makna dalam teks keagamaan, terutama. Menurut Guru Besar Sastra Arab dan Tafsir Perguruan Tinggi Ilmu Alquran PTIQ Jakarta Ahmad Thib Raya, perkembangan perkamusan di dunia Islam pun cukup dinamis. Semula, kamus-kamus itu disusun dengan sistematika yang kurang familier.
Belakangan, berbagai inovasi penyusunan kamus kian mudah. Ini bukan berarti menafikan peran karya-karya ulama sebelumnya. ”Kesemuanya saling melengkapi,” kata peraih gelar profesor di usia 43 tahun ini.
Berikut perbincangan lengkap yang pernah menjadivisiting profesordi University Malaya, Malaysia, ini dengan wartawan Republika Nashih Nashrullah perihal dinamika perkamusan bahasa Arab:
Sejauhmanakah urgensi leksikografi?
Leksikografi menjadi bagian terpenting dalam kajian kebahasaan. Penting karena sering kali ada kata-kata yang multitafsir dalam teks bidang ilmu tertentu. Perbedaan makna kata itu harus dikembalikan kepada makna kata-kata dan akar-akar kata yang ada dalam kamus
Karena itu, maka boleh jadi sebuah kata dalam sebuah kamus mengandung makna lebih dari satu makna, yang dalam istilah bahasa disebut isytirak lafdzi, yang mengandung makna lebih dari satu kata. Ada juga nanti dalam konteks satu bahasa yang memiliki makna yang berlawanan.
Dalam konteks multimakna, seperti kata qar'un pada ayat 228 surah al-Baqarah. Kata ini bisa berarti ‘haid’, juga bisa dipahami dengan makna ‘suci’. Jadi, bisa berarti tiga kali haid atau tiga kali bersuci. Di sinilah peranan kamus-kamus bahasa Arab. Seperti juga kata saqfun yang berarti ‘atap’.
Dalam konteks dunia perminyakan, kata ini digunakan untuk menyebut kuota. Ada lagi kata al-faidh bisa berarti ‘limpahan’, tetapi dalam dunia tasawuf diartikan dengan ‘emanasi’. Satu kata bisa mengandung puluhan makna lebih. Bahkan, ulama berpendapat, sebuah benda bisa memiliki ratusan penamaan. Dalam bahasa Arab, penamaan unta berbeda, mulai dari segi umur hingga kondisi hamil dan menyusui semua dibedakan. Karena itu, harus melihat ke mu'jam
Kamus klasik cenderung sulit digunakan?
Memang benar. Karenanya, inovasi penyusunan kamus disusun untuk memudahkan pembacanya. Semula, kamus disusun berdasarkan akar kata, semisal ghafara dikelompokkan menjadi satu ke ghafurun, istighfara, dan sebagainya.
Tetapi ternyata, penyusunan kamus berdasarkan akar kata jadi sulit buat pemula. Karena itu, terakhir diupayakan penggunaan sistem penyusunan kamus secara alfabet, berdasarkan awal katanya. Seperti yang terdapat pada kamus al-ashri.
Saya teringat pesan Prof Quraish Shihab yang menyarankan penggunaan kamus Maqayis al-Lughah ketimbang Lisan al-Arab karya Ibn Mandhur. Maqayis dinilai jauh lebih mudah ketimbang Lisan al-Arab yang muncul lebih dulu.
Perkembangan kamus Arab dinamis?
Ya, akan berkembang terus. Apalagi, saat ini gencar penggunaan istilah-istilah serapan dari bahasa asing. Misalnya kata elektronik, mungkin mereka susah mencari makna elektronik dalam bahasa Arab, tinggal ditulis kata iliktrunik. Demikian pula kata film, televisi, dan sebagainya. Menurut saya, pengembangan dan itu penambahan khazanah bahkan keniscayaan.
Berarti kamus lama akan ditinggalkan?
Apa pun karya yang dihasilkan ulama berikutnya dengan aneka leksikografi ini menandakan setidaknya tiga hal, yang pertama muncul akibat bertambahnya kebutuhan masyarakat akan kamus, kedua berarti mengakomodasi kebutuhan masyarakat tentang makna kata, dan yang ketiga kemunculannya akan semakin memperkaya khazanah intelektual yang telah dihasilkan oleh sarjana Muslim. Sebab, tidak ada satu pun kamus yang lengkap dan bisa menenuhi kebutuhan seratus persen. Kesemuanya saling melengkapi.