Oleh: Ustaz Yusuf Mansur
Musibah, baik yang terjadi di darat, laut, maupun udara adalah sunatullah. Selain itu, musibah merupakan ujian atau azab. Artinya, dalam kondisi apa pun seharusnya kita siap menghadapi musibah yang datang.
Andai kita siap, bila musibah terjadi di sekitar kita atau menimpa diri kita maka insya Allah kita akan husnul khatimah. Bahkan, mudah-mudahan kita digolongkan Allah SWT sebagai orang-orang yang meninggal fi sabilillah.
Dan, musibah itu tak dapat diperkirakan betapa pun manusia mempersiapkan diri dan berusaha memprediksinya. Tetap saja, manusia tak mampu memperkirakannya dengan akurat. Tak ada satu pun manusia yang bisa melakukannya.
Bahkan, lebih banyak musibah yang datang begitu saja, tak diperkirakan sebelumnya.
Misalnya, ada seorang tukang becak meninggal dunia karena kejatuhan pesawat bermuatan durian dua ton. Pesawat tersebut hendak terbang, tetapi ternyata tak bisa terbang. Akhirnya, pesawat menimpa tukang becak tersebut.
Atau, ada satu keluarga yang rumahnya tertabrak truk. Bukan bagian depan rumahnya, melainkan bagian belakangnya. Rupanya, truk ini menanjak tapi tak kuat. Rem tak mampu menahan beban truk, hingga truk itu menabrak rumah yang sudah dilewatinya.
Ini semua merupakan takdir Allah. Ada lagi contoh lainnya. Seseorang menggantikan temannya mengendarai sepeda motor. Sebenarnya, mereka sudah dekat ke tempat tujuan. Tapi, si pengendara pertama merasakan capai.
Lalu, temannya yang tadi membonceng menggantikan posisinya mengendarai sepeda motor itu. Tak lama, ada truk melintas, si pengendara motor itu melarikan motornya begitu saja. Truk pun menabrak motor itu.
Kejadian semacam ini tak bisa diprediksi sebelumnya. Kalau sejak awal sudah tahu, tentu pengendara terakhir tak mau menggantikan temannya mengendarai sepeda motor. Kemalangan dan keberuntungan akan datang silih berganti.
Demikian pula dengan kebaikan dan keburukan. Jadi, bagaimana kita menyikapinya? Pastikan saja kita berada di rel yang benar. Pastikan pula kita menjadi orang benar, menuntaskan semua urusan yang berhubungan dengan manusia dan Allah.
Tak ada yang terabaikan, terzalimi, bahkan diri kita sendiri. Tunaikan shalat malam. Berjamaah shalat Subuh dengan masyarakat kampung atau keluarga. Tunaikan pula shalat dhuha, puasa Senin-Kamis. Baik ada rezeki maupun sedang dalam kesempitan, tetap bersedekah.
Jaga seluruh tubuh dari harta dan hal-hal yang haram. Penuhi yang wajib, baik shalat fardhu maupun ibadah wajib lainnya. Bayar utang puasa Ramadhan, berzakat, dan berhaji saat berkemampuan untuk menjalankannya secara materi dan fisik. Jauhi segala dosa.
Kalau kita sudah pastikan semua itu berjalan, saat musibah datang tak akan menjadi masalah. Sebaliknya, kecelakaan buat kita adalah ketika musibah datang kita belum siap. Misalnya, pukul 14.00 sebuah musibah datang. Sekonyong-konyong muncul air bah, banjir bandang.
Celakanya, mengapa kita belum shalat Zhuhur saat musibah itu datang. Azan Zhuhur sudah berkumandang sejak pukul 12.00, tetapi mengapa kita belum shalat? Ini bukan berarti seseorang yang sudah shalat bakal terhindar dari musibah itu.
Shalat sebagai ikhtiar untuk terhindar dari musibah itu benar. Tentu, kita pun berharap ada kemurahan dari Allah agar kita yang sudah taat selamat dari musibah. Seperti saat Allah menyelamatkan umat Nabi Nuh dari banjir bandang. Juga, Nabi Luth dan umatnya.
Tapi, janganlah lupa kita akan diuji Allah dengan musibah. Allah berfirman, Dia akan menguji manusia dengan musibah dan kekurangan. Dan, manusia kemudian menyatakan segala sesuatu kembali kepada Allah.
Jadi, poinnya adalah kita, saya dan teman-teman sekalian, tak menunda kebaikan dan menghentikan keburukan. Sebisa mungkin kita memperbanyak kebaikan. Kondisinya siap, mau mati kapan saja dan dengan cara apa saja.
Meninggal dengan tenang atau mendadak, itu urusan Allah. Kita tak tahu kapan meteor jatuh dan menyebabkan musibah. Tapi, kalau kita sudah siap, dalam arti tak ada yang kita lalaikan dan sempat meminta ampunan kepada Allah, kita tak akan takut dan sedih.