REPUBLIKA.CO.ID, MERAUKE -- Jufri tugas ke bumi Cenderawasih, Irian Jaya pada 1997 usai nikah barakah. Saat itu, lulusan STM ini awalnya ditugaskan ke Nabire. Dia dan istri istri bertolak dari kota kaya minyak, Balikpapan menggunakan kapal selama sepekan. Karena ongkosnya pas-pasan, dia tidak menggunakan kelas.
“Ketika itu, saya dan istri berbulan madu di atas kapal. Malam hari sambil menikmati rembulan di bawah tangga kapal. Asik. Romantis,” ujar Jufri mengenang.
Sesampainya di Nabire, Jufri dan istrinya harus merasakan alam yang sangat menantang. Khususnya, nyamuk malaria. Jika sudah menginjakkan kaki di Irian Jaya, konon, siapapun orangnya, wajib kena malaria. Jufri dan istri pun kena malaria. Bahkan hampir setiap bulan.
“Kalau tidak kena malaria malah dianggap aneh. Kena malaria itu sudah biasa. Jadi, ya, dinikmati saja,” tuturnya.
Jufri tak khawatir akan kesiapan istrinya. Pasalnya, pujaan hatinya yang juga putra salah satu perintis pesantren itu kader tahan banting yang telah digodok selama di pesantren. Jadi, selama menjalani dakwah yang penuh onak dan duri tetap sabar.
Jufri mengalami beberapa kali tugas. Setelah dari Nabire, Jufri dipindah tugaskan ke Jayapura, Irian Jaya. Di Jayapura, Jufri tinggal cukup lama dari tahun 1998 sampai 2010. Dia sudah banyak dikenal oleh masyarakat sekitar. Bahkan, ketika hendak pindah ke Merauke, masyarakat sekitar yang notabene non-Muslim protes dan mengancam akan demo.
“Pak Jufri tidak boleh pindah. Bukannya banyak ustadz yang lainnya,” kata Jufri, mengenang.
Baru setelah dari Jayapura, Jufri dipindah ke Merauke, Papua. Baginya, pindah tugas bukan hal susah. Di manapun tinggal sama saja. Rezeki yang Allah berikan tidak berbeda. Karena itu, setelah dari Merauke, jika dipindah tugaskan dia akan siap.
“Saya siap dipindahkan. Kapan pun dan dimanapun,” pungkasnya