REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPIH), Syamsul Ma’arif mengakui penyelenggaraan haji di Indonesia masih terdapat problem besar. Hal tersebut, Dia sampaikan saat menjadi pembicara pada Fokus Grup Diskusi (FGD) yang diadakan Asosiasi Bina Haji dan Umroh Nahdlatul Ulama (Asbihu NU), Rabu (25/6) di kantor PBNU, Kramat Raya, Jakarta Pusat. Menurutnya, tidak ada kejujuran dari para penyelenggara haji.
Syamsul mengatakan, dalam dua tahun ini menteri agama selalu menyampaikan kepada masyarakat bahwa Biaya Penyelengaraan Ibadah Haji (BPIH) turun.
Namun, disisi yang lain, kata Syamsul, terdapat subsidi bagi jamaah. Kemudian, lanjut Syamsul, pemerintah menyampaikan BPIH turun tapi ada optimalisasi. hal tersebut semestinya, kata Syamsul, harus disampaikan kepada masyarakat. Namun, lanjut Syamsul, pemerintah tidak menyampaikan kepada masyarakat tentang BPIH.
“Disinilah dimanfaat oleh dua lembaga Negara pemerintah dan DPR setidaknya sebagai pencintraan,” ujar Syamsul.
Syamsul menuturkan dalam hal ini, dua lembaga Negara tersebut seolah-olah menjadi pahlawan bahwa mereka mampu menurunka BPIH. Oleh karena itu, kata Syamsul, pengelolaan keuangan ibadah haji perlu ditinjau kembali.
Selain itu, lanjut Syamsul,secara syar’I telah ditemukan bahwa akad yang dilakukan oleh orang yang akan membayar BPIH bermasalah secara syar’i. Hal tersebut, kata Syamsul berdasarkan hasil dari Bahsul Masail PBNU di Cilacap dan Yogyakarta.
Dengan demikian, tutur Syamsul, temuan bahwa terdapat masalah secara syar’I pada akad dalam pembayaran BPIH maka, harus disampaikan kepada menteri agama. Tujuannya, kata Syamsul, agar menteri agama mengetahui atas permasalahan tersebut.
“Untuk mengetahu yang benar seperti apa, ini perlu masukan dari lembaga keagamaan,” katanya.