REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota panitia kerja Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal Raihan Iskandar mengatakan Dewan Perwakilan Rakyat menawarkan fatwa halal hanya diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia.
"Kalau DPR tetap tawarkan fatwa halal hanya diberikan oleh MUI. Tapi kalau tidak bisa maka ada dua jalur yakni; ada lembaga pemerintah dan MUI yang bisa berikan fatwa halal," kata anggota panja RUU Jaminan Produk Halal Raihan Iskandar dalam diskusi di Senayan Jakarta, Selasa.
Diskusi Forum Legislasi yang mengambil tema RUU Jaminan Produk Halal menghadirkan nara sumber anggota Panja RUU Produk Jaminan Halal H. Raihan Iskandar, Direktur LPPOM MUI Ir Lukmanul Hakim, M.Si dan Tulus Abadi dari YLKI
Raihan menjelaskan dalam pembahasan RUU JPH ini masalah utamanya adalah tentang alur bagaimana soal halal. Apakah sertifikasi halal hanya dilakukan MUI atau juga diberikan oleh pemerintah, yakni satu badan tertentu.
"Sebenarnya yang menjadi persoalan itu di pemerintah. Karena kalau terjadi kebuntuan di DPR, penyelesaiannya gampang tinggal voting. Namun jika kebuntuan itu di pemerintah maka menjadi rumit penyelesaiannya," kata Raihan.
Sementara terkait sifat sertifikasi, Raihan menjelaskan DPR menawarkan sifatnya mandatory, sedangkan dari pemerintah sifatnya sukarela.
Sementara Lukmanul Hakim menjelaskan kalau sertifikasinya bersifat sukarela maka tak berarti UU ini tidak ada relevansi dan kepentingannya karena sama saja dengan yang ada sekarang. Selain itu tambahnya berarti bukan untuk melindungi masyarakat.
Lukmanul menjelaskan MUI masuk dalam sertifikasi halal karena tuntutan konsumen. Karena itu MUI melakukannya untuk melindungi masyarakat. "Dan MUI masuk (sertifikasi halal) karena adanya kekosongan hukum," katanya
Lukmanul juga menjelaskan karena sifatnya yang sukarela maka selama 25 tahun MUI menjalankan sertifikasi halal masih banyak industri yang tak mendaftarkan sertifikasi halal.
"Harusnya sifatnya mandatory. Kalau sukarela maka UU ini menjadi tak relevan. Yang utama itu perlindungan masyarakat maka sifat sertifikasinya harus mandatory," katanya.
Meskipun demikian, Lukmanul menegaskan sifatnya mandatory yang terstruktur dengan berbagai pertimbangan. Dijelaskan sekarang ini perdebatan yang ada hanya pada siapa yang berwenang memberikan sertifikasi.
"Kalau posisi MUI tegas, harus ambil (sertifikasi) atau tidak sama sekali. Karena ini sifatnya pada materi substantif yakni; halal itu harus dilakukan orang-orang yang ahli dan bebas dari tekanan maupun kepentingan politik atau perdagangan," kata Lukmanul.
Karena itu, kalau pemerintah mau ambil atau lakukan sertifikasi maka sikap MUI silakan ambil semua dan MUI tak mau ikut serta tak mau bertanggung jawab, katanya.
Sementara Tulus Abadi menyatakan sepakat soal sifat sertifikasi, harus mandatory. "Tapi ini, mandatory harus bertahap. Kalau tidak akan jadi persoalan. Sudah siap belum infranstrukturnya," kata Tulus.
Tulus mengingatkan jangan sampai niatnya melindungi masyarakat namun nanti sertifikasi halal justru akan menjadi beban industri kecil.