REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hafidz Muftisany
Penetapan upah yang adil adalah tanggung jawab ulil amri.
Selain itu maksud diperbolehkannya campur tangan penguasa dalam penetapan upah pekerja adalah untuk mencegah kemudaratan. Dharar atau bahaya sendiri diklasifikasikan menjadi beberapa kaidah ilmu fikih.
Di antaranya dharar harus dihilangkan. Dharar tidak boleh dihilangkan dengan cara menimbulkan dharar yang lain.
Artinya, semua undang-undang dan peraturan pemerintah yang bermaksud untuk mencegah dharar diperbolehkan.
Pengaturan upah dimaksudkan agar tidak terjadi benturan antarkelompok masyarakat karena terjadi kesenjangan dan ketidakadilan.
Selain itu, hak-hak khusus pekerja telah dikemukakan dengan gamblang dalam beberapa hadis. Rasulullah SAW bersabda, "Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum kering keringatnya." (HR Ibnu Majah).
Dalam hadis lain dari Abu Hurairah ra, ada ancaman tiga orang yang dimusuhi Allah SWT pada hari kiamat, salah satunya seperti yang disebutkan Rasulullah SAW, "Dan seseorang yang menyuruh pekerja untuk bekerja, lantas pekerja itu menunaikan tugasnya namun yang bersangkutan tidak memberikan upahnya." (HR Bukhari).
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menambahkan tujuan campur tangan pemerintah dalam menentukan hukum untuk mencegah terjadinya penganiayaan satu golongan terhadap golongan yang lain.
Pemerintah, ujar Ibnu Taimiyah, dapat memaksa dengan menetapkan imbalan yang layak sehingga mereka tidak menuntut imbalan yang lebih tinggi dari standar yang diberikan.
Para fukaha menjelaskan standar besarnya upah seorang pekerja. Upah yang layak adalah upah yang seimbang dengan jenis pekerjaannya dengan memperhatikan situasi dan kondisi. Selain itu juga tidak merugikan pekerja dan memberatkan pengusaha.