Ahad 11 May 2014 02:47 WIB

MUI Siapkan Fatwa Bagi Paedofil

Rep: c64/ Red: Damanhuri Zuhri
Majelis Ulama Indonesia (ilustrasi)
Majelis Ulama Indonesia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan mengeluarkan fatwa bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak (pedofil). Fatwa tersebut sedang dibahas Komisi Fatwa MUI.

 

“Fatwa ini dilatarbelakangi oleh fenomena pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak yang terus meningkat di seluruh daerah dan hukuman terhadap para pelaku yang belum maksimal,” ujar Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh di Jakarta, Kamis (8/5).

Ia melihat hukuman yang dijatuhkan kepada pedofil belum maksimal. Padahal, para pedofil melakukan dua kejahatan sekaligus, yakni pelecehan seksual dan merusak masa depan si anak.

Karena itu, MUI sedang membahas dan mengkaji fatwa terkait pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak.

“Komisi Fatwa MUI melihat perlu adanya hukuman yang layak untuk para pelaku pedofilia dan penyimpangan seksual lainnya apalagi mereka melakukan perbuatan itu kepada anak-anak,” kata Asrorun.

Pada pembahasan awal ini, Asrorun Niam menambahkan, MUI menghendaki hukuman kepada para pedofil harus bisa menimbulkan efek jera, seperti pengasingan bahkan hukuman mati.

“Pemberlakuan hukuman tersebut harus dilihat dari jenis kejahatan yang dilakukannya dan penetapan hukuman harus sesuai dengan syarat dan ketentuan-ketentuannya.”

Sertifikat halal

Selain masalah tersebut, MUI Pusat dilaporkan telah mengeluarkan 8.553 sertifikat halal sejak 2005 sampai Maret 2014.

“Angka 8.553 itu merupakan akumulasi dari 188.991 produk yang mengajukan sertifikasi halal selama kurun waktu tersebut,” kata Faried Mahmud, Kepala Bagian Informasi Halal, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI

Sedangkan, sertifikat halal yang telah dikeluarkan MUI daerah berjumlah 9.521. Jumlah tersebut merupakan akumulasi dari 23.925 produk yang mengajukan sertifikasi halal.

Pada pekan ini, kata Faried, terdapat 808 produk dari 39 perusahan yang mengajukan sertifikasi halal ke LPPOM MUI Pusat.

Beberapa dari pengajuan tersebut terpaksa ditunda oleh Komisi Fatwa MUI karena masih harus dikaji dan diberikan informasi lebih lanjut mengenai komposisi yang terkandung dalam produk tersebut.

“Produk-produk yang ditunda proses sertifikasinya itu karena dalam komposisinya masih ada beberapa bahan yang belum jelas kandungannya sehingga kami harus mengetahui lebih dahulu,” ujar Asrorun.

Ia mengatakan, sertifikasi halal tidak hanya sebatas menguji komposisi bahan, tetapi juga cara pembuatan dan pengelolaannya. Semua harus diketahui secara rinci, apakah sudah sesuai syariah atau belum.

Hal tersebut juga berlaku bagi restoran. “Bagaimana kita bisa menilai bahwa makan di restoran itu halal, padahal kita tidak mengetahui cara pembuatannya, lagi pula kehalalan tidak bisa dinilai sendiri, melainkan harus sesuai dengan ketentuan syariah,” katanya.

MUI, Faried menambahkan, menargetkan seluruh produk dan restoran di Indonesia, dari skala kecil sampai besar, memiliki sertifikat halal. “Sebab, kata halal bukan hanya dilihat dari kasat mata, tetapi harus ada sertifikat yang menyatakan produk tersebut halal,” ujarnya.

Namun, menurut Faried, masih ada kendala dalam pelaksanaan sertifikasi halal, yakni belum ada payung hukum yang mendukungnya. Sehingga, sertifikasi halal terhadap suatu produk masih bersifat sukarela dari perusahaan.

“Selama ini, LPPOM aktif dalam sosialisasi makanan halal, begitu juga berbagai lembaga masyarakat atau komunitas yang peduli terhadap produk halal. Tapi, karena statusnya sukarela jadi tergantung dari perusahaan masing-masing,” kata Faried.

Dalam upaya sosialisasi itu, LPPOM tak henti-hentinya mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk memilih produk yang sudah ada sertifikat halalnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement