Senin 05 May 2014 17:53 WIB

Kenang Warga Palestina, Muslim Belanda Dikritik

Muslim Belanda peringati kebiadan Nazi terhadap warga Palestina.
Foto: Onislam.net
Muslim Belanda peringati kebiadan Nazi terhadap warga Palestina.

REPUBLIKA.CO.ID, AMSTERDAM -- Komunitas Muslim Belanda berencana mengenang warga Palestina yang menjadi korban kebiadaban Nazi. Namun, rencana ini dikritik lantaran menghubungkan agresi Israel di Palestina dengan penggunaan istilah holocaust.

"Tidak ada maksud untuk memprovokasi apapun dan siapapun dengan menggunakan istilah holocaust," kata Abou Hafs, salah seorang Muslim Belanda, seperti dilansir onislam.net, Senin (5/5).

Hafs mengungkap penggunaan istilah holocaust merujuk pada istilah pembersihan etnis. Jadi, pembersihan etnis ini tidak dimaksudkan untuk menyindir pada etnis tertentu melainkan mengingatkan bahwa ada pembersihan etnis lain.

Kritik bermunculan ketika "Platform Bewust Moslim" mengumumkan rencana memperingati korban Nazi pada 4 Mei lalu. Peringatan itu diberi tajuk "Palestine, Shadow Holocaust'. Tajuk inilah yang dipermasalahkan. Aksi menentang acara tersebut pun terjadi. Lebih dari 40 keluhan diterima Walikota Hilversum.

"Anda tahu,  mantan Perdana Menteri Israel, Simon Peres juga menggunakan istilah holocaust untuk menyebut korban pemboman Hiroshima, Jepang," ungkapnya.

Itu sebabnya, kata dia, istilah holocaust secara substantif menggambarkan pembunuhan massal terorganisir. Pembantai Nazi terhadap warga Palestina juga merupakan contohnya. "Memang dari jumlah kematian lebih besar di Eropa, tapi tetap saja itu pembersihan etnis," ucap dia.

Secara terpisah, Walikota Hilversum meminta pihak masjid untuk membatalkan acara. Permintaan ini dimaksudkan guna mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan. Meski demikian, walikota mempersilahkan umat Islam untuk  mencari tempat alternatif guna menghindari ketegangan.

"Kami sudah menemukan lokasi alternatif," kata Hafs.

Kendati menerima permintaan walikota, umat Islam merasa pemerintah Belanda memberlakukan kebijakan ganda. Pemerintah dinilai tidak konsisten dalam melakukan pendekatan dengan komunitas Muslim.

Hafs mengungkap pada kasus kartun anti-Islam misalnya, pemerintah Belanda menyatakan umat Islam tidak memandang itu secara objektif dari kebebasan berekspresi. "Dalam konteks ini, kita ingin menerapkan itu tapi nyatanya disebut subyektif. Mereka menekan kami dengan pandangan subyektif dari orang-orang yang merasa keberatan," papar Hafs.

Hafs menambahkan penderitaan warga Palestina seharusnya dikedepankan ketimbang mempermasalahkan pemakaian istilah. Acara peringatan ini memiliki pesan bahwa ada korban lain diluar apa yang dipahami selama ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement