Kamis 24 Apr 2014 10:38 WIB

Kehalalan Vaksinasi untuk Jamaah Haji dan Umrah (2-habis)

Seorang calon haji menunjukkan buku kesehatan saat melakukan tes kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Tangerang Selatan, Banten.
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Seorang calon haji menunjukkan buku kesehatan saat melakukan tes kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Tangerang Selatan, Banten.

Oleh: Mohammad Akbar

Selama ini para jamaah umrah telah diminta untuk menjalani vaksin meningitis. Padahal, menurut Baluki Ahmad, Ketua Umum Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (Himpuh), vaksin tersebut belum terlalu dianggap penting jika dibandingkan dengan jamaah yang pergi haji.

“Soalnya, berapa lama orang itu stay di Makkah dan Madinah. Selain itu, mereka juga tidak berinteraksi langsung. Jadi, untuk umrah, sepatutnya dipertimbangkan saja,” katanya.

Kalau selama ini para jamaah umrah melakukan vaksin meningitis sebelum pergi ke Tanah Suci, Baluki menduga karena adanya kepentingan bisnis yang terselubung di dalamnya. “Terus terang sekarang ini sudah menjadi media bisnis yang luar biasa karena tak ada nilai yang standar (untuk setiap vaksin).”

Pertimbangan lainnya agar para jamaah umrah belum terlalu perlu untuk menjalani vaksin, kata Baluki, belum adanya penelitian yang mendalam. Penelitian yang bersifat empiris untuk mendata jamaah umrah yang membawa pulang penyakit hingga kini belum ada.

“Walaupun hal itu memang diatur oleh WHO, selama ini kan di Indonesia belum ada penelitian empirisnya. Padahal, di Arab sendiri, mereka justru tidak melakukan vaksin tersebut,” ujarnya.

Berkaitan dengan polemik halal terhadap obat-obatan yang dipakai para jamaah haji dan umrah, Ketua Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) Slamet Effendy Yusuf sepakat agar obat-obatan yang dipakai para jamaah itu sampai pada tingkat halal. Namun, ia memaklumi terhadap pemakaian vaksin yang diberikan kepada para jamaah.

Selama ini, MUI memutuskan vaksin yang digunakan tidak bisa disebut halal, tetapi karena sifatnya darurat dan belum ada gantinya, boleh digunakan.

Pria yang juga menduduki posisi salah satu ketua di Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini mengatakan, vaksin yang selama ini digunakan belum belum bisa disebut halal. Namun, karena sifatnya yang darurat dan belum ada penggantinya, ia mengatakan, hal tersebut kemudian disepakati oleh MUI untuk boleh digunakan.

“Ada kaidah fikih yang mengatakan darurat itu membolehkan yang dilarang. Jadi, saya ingin tegaskan vaksin yang selama ini dipakai memang belum sampai pada tingkatan halal, tetapi karena dalam situasi darurat, akhirnya boleh digunakan karena alasan keperluan tertentu,” tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement