Selasa 22 Apr 2014 16:17 WIB

Raphael Liogier: Tak Ada Negara Sekuler Murni (2-habis)

Raphael Liogier (ketiga dari kanan) dalam konferensi internasional
Foto: Republika/Hannan Putra
Raphael Liogier (ketiga dari kanan) dalam konferensi internasional "State and Religion The Case of Indonesia and France" yang digelar di Jakarta, Selasa (18/2) lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, Banyak negara yang memisahkan antara agama dan negara. Padahal, menurut guru besar sosiologi Sekolah Tinggi Ilmu Politik  d'Aix di Aix-en-Provence, Prancis, Raphael Liogier, tidak terdapat satu pun negara yang mengklaim negara mereka sekuler lalu mereka memisahkan sama sekali agama dari negara.

“Tidak ada,” katanya di sela-sela seminar bertajuk “State and Religion” di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beberapa waktu lalu.

Berikut lanjutan perbincangan Direktur Observatoire du Religieux itu dengan wartawan Republika Rosita Budi Suryaningsih dan Nashih Nashrullah:

Bagaimana dampak sekularisme?

Efek langsung dari sekularisme adalah pluralisme. Jika ada orang yang bilang bahwa dirinya sekuler tapi bukan plural, maka dia tidak tahu arti sekularisme sebenarnya.

Jika Anda tidak mau tahu dengan perbedaan agama maka itu bukanlah sekularisme. Sekularisme berarti memisahkan urusan negara dengan agama, namun tetap memperlakukan orang lain yang tidak seagama dengan kita sebagai manusia degan hak yang sama.

Banyak kesalahpahaman terjadi pada istilah sekularisme ini. Orang-orang yang mengaku sekuler, bahkan sebagian besar orang Prancis sendiri salah kaprah mendefinisikan sekularisme ini. Tindakan mereka jauh dari pluralisme, yang berarti mereka sama sekali tidak sekuler.

Banyak orang Prancis menganggap bahwa sekularisme adalah mengambil kekuasaan dan jalan yang berbeda dalam kehidupan. Ini adalah sikap pura-pura bahwa mereka memandang orang lain tidak boleh berbeda dengannya. Orang dengan agama lain dipersilakan mau beribadah atau melakukan apa pun, asalkan di rumah pribadi mereka, bukan di tempat publik.

Saya terus melawan diskriminasi yang ditujukan terhadap Muslim, bukan karena saya adalah bagian dari Muslim, namun karena saya menjunjung tinggi prinsip sekuler yang sebenarnya.

 

Lalu bagaimana korelasi ideal antara agama dan negara?

Saya tidak menyangkal jika ada orang yang sangat agamis. Saya tidak mau ada agama yang dilarang.

Namun, tradisi yang sangat spesifik akan menciptakan kekuatan. Kekuatan ini akan memberikan fantasi bisa mengalahkan kaum dengan tradisi yang berbeda. Sekularisme hadir untuk menengahi masalah tersebut. Ia menghambat pertumbuhan tradisi tersebut.

Tidak ada negara yang netral seratus persen. Tak ada benar-benar bisa memisahkan antara urusan agama dengan negara, karena itu tidak bisa.

Ide untuk memisahkan masalah agama dengan negara ini, analogi mudahnya seperti ini. Jika saja terjadi masalah ekonomi maka sebagai negara yang memisahkan urusan agama dan negara, ini merupakan masalah duniawi. jika memutuskan menjadi negara agama maka nanti alasan yang dipakai adalah masalah ekonomi terjadi karena hukuman Tuhan, atau menyalahkan Tuhan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement