REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES -- Sebuah kelompok pembela hak Muslim meluncurkan sebuah program yang membantu masjid-masjid di Amerika Serikat (AS) untuk mengidentifikasi potensi gerakan ekstremis melalui konseling keagamaan, Safe Space Initiative.
‘’Pertanyaannya selalu sama, ‘mengapa harus minta maaf untuk hal yang tidak kita lakukan atau tidak memiliki hubungan langsung dengan kita?’,’’ kata presiden Dewan Hubungan Masyarakat Muslim (MPAC)AS , Salam al-Maryati kepada The Wall Street Journal, Senin (14/4).
Salam mengatakan Muslim harus tetap bertanggung jawab atas perkembangan umat sebab gerakan Islam ekstrem masih tetap ada dan itu yang membuat Islam terlihat buruk. Program sosial ini dimulai Senin sebagai peringatan peristiwa pengeboman maraton Boston.
April 2013 lalu, kakak beradik Muslim dari etnis Chechen menjadi pelaku ledakan bom di garis finish maraton Boston. Kejadian itu menewaskan tiga orang dan melukasi lebih dari 260 orang lainnya.
Serangan dalam maraton internasional itu menuai kecaman terhadap Muslim baik dari warga di AS maupun di negara-negara lainnya. Muslim AS yang tidak memiliki kaitan dengan pelaku pun terpaksa menerima imbasnya.
Kerena itu MPAC menginisiasi kegiatan ini untuk membuat umat Islam AS menyadari bibit gerakan ekstrim. Strategi ini disadari membutuhkan waktu yang panjang untuk melakukan pendekatan ke banyak komunitas Muslim di AS.
AS menjadi rumah bagi sekitar delapan juta Muslim. Jajak pendapat yang dilakukan Gallup menyebut mayoritas Muslim AS merupakan warga negara yang loyal dan memiliki optimisme akan membaiknya kondisi AS.