Jumat 04 Apr 2014 16:28 WIB

Syekh Ibrahim Musa Parabek, Pejuang Pendidik Umat (2-habis)

Syekh Ibrahim Musa Parabek.
Foto: Thawalib-parabek.sch.id
Syekh Ibrahim Musa Parabek.

Oleh: Mohammad Akbar

Di Tanah Suci, ia tak hanya berhaji. Tapi, dahaganya terhadap ilmu terus ia obati dengan berguru kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy.

Sosok ini merupakan imam di Masjidil Haram yang bermazhab Syafi'i. Selain itu, Ibrahim juga memperoleh bimbingan dari Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Ali Bin Husein, Syekh Mukhtar al-Jawi, hingga Syekh Yusuf Al Hayat. Tercatat, sembilan tahun lamanya ia menggali ilmu di Bumi Suci.

Pada 1910, ia kembali ke Tanah Air. Tapi, tak seperti orang berhaji pada masa kini yang hanya mengedepankan nilai prestise karena bergelar haji. Ibrahim mengamalkan esensi berhaji itu dengan membuka pengajian (halaqah).

Inilah awal bagi Ibrahim menyemaikan ilmu agama kepada para kaum muda di bumi Minang. Empat tahun berselang, Ibrahim bersama istri, Syarifah Ghani, dan anak, Thaher Ibrahim, pergi ke Tanah Suci.

Sekembalinya dari Makkah, ia membuat sejumlah perubahan. Di antaranya, pengajian diganti menjadi Muzakatul Ikhwan pada1916. Dua tahun berikutnya, diubahlah pengajian tersebut menjadi Sumatra Thawalib.

Pada saat itu, ia bersinergi dengan Syekh H Abdul Karim Amarullah, ayah dari ulama besar Buya Hamka. Ibrahim mendirikan Thawalib di Parabek sedangkan Abdul Karim di Padang Panjang.

Sejalan dengan masa pergerakan kemerdekaan, Syekh Ibrahim Musa memberikan pula kontribusi nyata. Pada 1929, pengaruh politik Islam nasional memasuki Sumatra Thawalib yang disalurkan lewat Persatuan Muslim Indonesia (Permi).

Tiga tahun berikutnya, Sumatra Thawalib menjadi wadah politik Permi. Sosok ini juga pernah berperan serta membentuk barisan Sabilillah sekaligus menjadi imam jihad pada 1946.

Selain aktif berorganisasi, Syekh Ibrahim Musa juga menelurkan sejumlah karya. Di antaranya, Ijabah al-Sul yang menjadi penjelasan dari kitab ushul fikih, Husnul al-Ma'mul, karangan M Shiddiq Hasan Khan Bahadir.

Selanjutnya, Syekh Ibrahim Musa menulis kitab sastra Arab (balaghah) yang bertajuk Hidayah as-Shibyan, serta Hidayah yang ditulisnya dalam bahasa Minangkabau. Kitab yang terakhir ini berisikan ilmu tauhid.

Pada 20 Juli 1963, Syekh Ibrahim Musa menutup mata untuk selamanya. Walau jasadnya telah berkalang tanah, amalnya tak pernah terhenti karena institusi pendidikan yang didirikannya di Parabek hingga kini masih tetap hadir untuk mencetak ilmuwan dan agamawan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement