Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Rombongan tersebut telah dipersiapkan dengan baik. Di dalamnya selain perwira dan prajurit, juga diikutkan pula ahli-ahli dalam ilmu astronomi, pembuat peta, ahli geografi, tabib, dan juru tulis.
Salah satu juru tulis yang kemudian banyak menuliskan sejarah perjalanan tersebut, yakni Ma Huan, yang sama juga dengan Cheng Ho, ia merupakan Muslim.
Rombongan itu pertama kali berlayar pada Juni 1405 dan kembali ke Cina dua tahun setelahnya. Perjalanan ini lebih mengutamakan sikap diplomasi dan berunding dengan pihak-pihak penguasa di negeri yang disinggahinya, termasuk di nusantara.
Di nusantara mereka menyusuri pesisir selatan Kalimantan dan pesisir Jawa. Saat itu, Kerajaan Majapahit sedang mengalami kemunduran. Perjalanan tersebut kemudian diteruskan ke pesisir Sumatra dan menuju ke Malaka.
Dalam catatan Ma Huan, tertulis agama Islam sebenarnya telah lama berkembang dalam kalangan rakyat di bandar Malaka tersebut, dibawa oleh para saudagar Arab yang menetap di sana.
Namun, meski telah Islam, masyarakat masih menggunakan adat istiadat dan kepercayaan takhayul yang mirip dengan penduduk Cochin Cina, dalam bentuk yang sederhana.
Laksamana Cheng Ho sendiri merupakan pemuda tangkas yang lahir dari keluarga Muslim, terlahir dengan nama Muhammad Ma Ho. Orang tua dan kakeknya telah berhasil menunaikan ibadah haji. Ini berarti keluarga Cheng Ho termasuk keluarga yang kaya dan terpandang.
Di setiap tempat persinggahannya, berbagai tulisan memuat bahwa sikap sang laksamana Muslim ini sangat pantas diteladani. Ia selalu menjunjung tinggi toleransi dan menghormati setiap negeri yang ia kunjungi.
Salah satu peninggalan besar dari rombongan di bawah kepemimpinan Cheng Ho itu adalah kelenteng Sam Po Kong yang berada di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Ketika rombongan ini sedang berlayar melewati Laut Jawa, ada seorang awak kapalnya yang sakit. Ia kemudian memerintahkan membuang sauh dan merapat ke pantai utara Semarang.
Di sini Cheng Ho mendirikan sebuah masjid, yang karena arsitekturnya bernuansa Cina, bangunan ini terlihat seperti kelenteng. Tak banyak yang tahu bahwa di dalam kelenteng Sam Po Kong ini adalah masjid.
Salah satu tanda keislaman pada kelenteng tersebut, yakni adanya tulisan “marilah kita mengheningkan cipta dengan mendengarkan bacaan Alquran”.