Ahad 23 Mar 2014 15:50 WIB

Pasang Surut Kedermawanan Nusantara (1)

Masjid Al-Azhar dibangund di atas tanah wakaf.
Foto: Republika/Agung Supri
Masjid Al-Azhar dibangund di atas tanah wakaf.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rosita Budi Suryaningsih

Masyarakat Indonesia dikenal dermawan.

Istilah filantropi belum akrab di telinga kebanyakan masyarakat Indonesia meski sebenarnya aktivitas yang menyerempet dengan kegiatan ini sudah umum dilakukan.

Penelitian yang dilakukan Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarief Hidayatullah Jakarta menghasilkan data sebanyak 99,3 persen Muslim Indonesia bederma.

Ini membuktikan sikap ajaran Islam untuk selalu berbagi dengan saudara yang kekurangan tumbuh subur di negeri ini.

Menurut aktivitas filantropi Islam di nusantara sendiri, sebenarnya telah berlangsung sejak dulu kala. Sekitar abad kedelapan, sejak munculnya komunitas Muslim dan mulai berdirinya kerajaan Islam, berbagai aktivitas filantropi pun dilakukan.

Berdasarkan catatan perjalanan Ibnu Batutah yang sempat singgah di Kerajaan Samudera Pasai, menjelaskan perilaku rajanya, Sultan Malikul Dhahir, sebagai raja yang punya perhatian kepada fakir miskin.

Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap tinggi hati. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah.

Para tamunya dipersilakan duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia langsung duduk di tanah tanpa beralaskan apa-apa.

Seiring dengan penyebaran Islam yang begitu cepat, bukan hanya di daerah pesisir, membuat kegiatan filantropi semakin kuat dan bertumbuh, yang dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat setempat.

Tulisan dari Dr Amelia Fauzia dengan judul, Filantropi Islam di Indonesia: Peran dan Perkembangannya, menjelaskan tradisi filantropi Islam berinteraksi dengan tradisi serupa yang sudah ada pada zaman pramodern maupun yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Buddha.

“Ada beberapa tradisi yang mirip sekali dengan wakaf di beberapa suku di Indonesia atau ada beberapa tradisi sedekah oleh beberapa masyarakat suku yang mayoritas Muslim,” tulisnya.

Budaya filantropi dibawa oleh para pedagang dan guru tarekat yang juga berdakwah dan menyebarkan Islam hingga ke penjuru nusantara.

Naskah Melayu dan Jawa banyak menuturkan tentang etika kehidupan istana dan sultannya, yang di dalamnya ada konsep praktik filantropi Islam.

Aktivitas sedekah di lingkungan kesultanan biasanya terkait dengan perayaan, misalnya perayaan kelahiran, khitanan, dan pernikahan.

Dalam suatu perayaan, Sultan senantiasa memberikan makanan, pakaian, termasuk perhiasan kepada orang miskin.

Pemberian sedekah sebelum shalat Jumat yang dilakukan oleh para Sultan, kemudian juga banyak diikuti oleh bagian masyarakat yang lain.

Institusi wakaf sudah mulai tersebar di seluruh wilayah nusantara sejak abad ke-15 dengan semakin kuatnya kerajaan Islam dan semakin banyaknya masjid dan pondokan yang didirikan.

Akan tetapi, bentuk wakaf itu sangat tradisional dan hanya terfokus untuk kepentingan ibadah, seperti masjid dan kuburan, dan untuk pendidikan, seperti pondok pesantren.

Di lingkungan kerajaan, masjid besar biasanya didirikan oleh sultan, misalnya Masjid Raya di Kesultanan Aceh. Penghayatan pengamalan ibadah individual terlihat di sini lebih disukai dibandingkan dengan ibadah menyangkut kepentingan sosial.

Pada zaman penjajahan Belanda, praktik filantropi Islam ini tidak mati, tapi hanya dikelola oleh kaum agamis, pemerintahan tidak turut campur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement