REPUBLIKA.CO.ID, YINGCHUAN -- Hingga kini, daerah otonomi Ningxia Hui merupakan kantong Muslim terbesar di Cina Daratan. Dibandingkan dengan kantong Muslim lainnya, Ningxia memang relatif aman ketimbang Xianjiang.
Harus diakui, kemiripan karakteristik fisik dan budaya membuat wilayah ini relatif lebih mudah berbaur. Berbeda dengan etnis Uighur yang jauh berbeda sehingga kerap terlibat benturan. Padahal kedua wilayah tersebut juga mengalami sejarah yang sama, yakni berseberangan dengan kepentingan Beijing.
Seperti dilansir the asian times, Selasa (18/3), Tiga dekade setelah China meluncurkan reformasi ekonomi. Ningxia dipandang Beijing sebagai potensi. Apa potensinya, tentu saja populasi Muslim. Beijing melalui koneksi etnis Hui yang Muslim ingin menjangkau negara-negara Arab dan Muslim. Tidak heran, dalam waktu relatif singkat, wilayah ini terlibat perdagangan dengan negara-negara tersebut. n
Walhasil, Beijing mendapat dua keuntungan besar. Pertama, mereka dapat menurunkan ketegangan dengan etnis Muslim. Kedua, ada hubungan yang erat antara Muslim dan Beijing. Hebat. Ironisnya, itu sulit dilakukan pada etnis Uighur yang notabene juga penyangga dunia Islam.
Kemampuan Beijing memantau masalah memang patut dipuji. Kasus Hui merupakan salah satu contohnya. Tapi tengok sejarah modern China, ketika negara itu mengalami chaos seiring runtuhnya Kekaisaran Qing, Beijing harus berhadapan dengan Jepang yang agresif.
Tidak ada yang menduga, Beijing kala itu mengirimkan diplomatnya yang Muslim untuk mendapatkan dukungan dunia Islam, yang waktu itu dipimpin Kekalifahan Ustmani. Faktanya China gagal menghadang Jepang bukan karena dukungan itu melainkan situasi dalam negeri sendiri.