Senin 17 Mar 2014 06:50 WIB

Muslim Rohingya di Ujung Kematian

Relawan Palang Merah Indonesia (PMI) berangkat dalam misi kemanusian bagi etnis muslim Rohingnya melalui Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Sabtu (25/8). Palang Merah Indonesia (PMI) mengirimkan 7,5 ton bantuan kemanusiaan berupa 500 paket hygiene kit,
Foto: Republika/Adhi.W
Relawan Palang Merah Indonesia (PMI) berangkat dalam misi kemanusian bagi etnis muslim Rohingnya melalui Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Sabtu (25/8). Palang Merah Indonesia (PMI) mengirimkan 7,5 ton bantuan kemanusiaan berupa 500 paket hygiene kit,

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ferry Kisihandi

Noor Jahan (48 tahun) bergerak perlahan di atas lantai. Ia berupaya menegakkan tubuhnya yang lemah. Dadanya turun naik karena helaan napas yang berat.

Matanya terpejam setiap ia mengambil napas. Ia tak lagi bisa makan atau berbicara. Bahkan, tubuhnya pun menolak asupan sekadar satu sendok air teh.

Dua tahun lalu, sebelum serangan Buddhis terhadap Muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar, Jahan masih bisa ke rumah sakit untuk mengobati sakitnya tersebut, yaitu diabetes, ginjal, dan liver.

Sebab, ia sebenarnya termasuk keluarga kaya. Ia dikenal di kalangan Muslim maupun Buddhis. Ia dan keluarganya memiliki lima rumah, kekayaan yang diperoleh dari bisnis suplai bahan konstruksi. Tapi, kisruh di Rakhine membuat semuanya sirna.

Ia mesti meninggalkan rumahnya yang terbakar dan dijarah. Termasuk, sejumlah perhiasan dan uang tunai 5.000 dolar AS. Mereka tak lagi bisa mengakses rekening di bank karena seluruh identitas tertinggal di rumahnya yang sudah lantak.

Kini, ia berada di kamp pengungsian Muslim Rohingya yang berlokasi di Desa Chaung, barat laut Rakhine, Myanmar. Serangan terhadap Muslim Rohingya oleh Buddhis membuat Jahan terdampar di pengungsian berdinding bambu itu.

Sebuah tempat yang minim fasilitas, termasuk layanan kesehatan. Para penghuni kamp memungkinkan dibawa ke rumah sakit, itu pun kalau kondisinya memang darurat. Lebih sering, tak ada izin bagi mereka untuk mengobati sakitnya.

Tiga bulan pertama di pengungsian, kondisi kesehatan Jahan tak masalah. Sebab, masih ada persediaan obat dan makanan. Tapi, setelah itu keadaannya memburuk. Pada Desember tahun lalu, ia tak sadarkan diri.

Beruntung, suami Jahan, Mohamad Frukan, diberi izin membawa istrinya ke klinik pemerintah di Sittwe, Rakhine. Tapi, penjaga klinik memberikan tanda tertentu. Ini membuat perawat memberikan obat berbeda dari yang telah diresepkan dokter.

Sebenarnya, Jahan diminta menemui dokter spesialis di Yangon. Tapi, lagi-lagi harus ada izin bagi Rohingya untuk ke sana. Setelah sembilan hari di klinik, akhirnya ia kembali ke kamp berdinding bambu di Chaung. Sejak saat itu, kesehatannya semakin buruk.

Jahan tak bisa berdiri atau berbaring. Ia harus terus duduk. Frukan pernah berusaha membawa istrinya itu ke Bangladesh. Ia menyediakan 300 dolar AS untuk pemilik perahu yang akan membawanya ke Bangladesh. Uang itu sisa simpanan saat mengungsi.

Pemilik perahu bersedia berlayar melalui gelombang setinggi dada selama 45 menit menuju tempat tujuan. Sayang, setelah kapten perahu melihat kondisi Jahan, ia mundur. Ia enggan menanggung risiko membawa orang yang sedang sekarat.

“Tak ada yang dapat saya lakukan kecuali menangis. Hidup begitu menyakitkan bagi kami,” kata Frukan, Rabu (12/3) lalu.  Saat melihat istrinya, Frukan merasakan hatinya perih. Ia, Jahan, dan dua anak perempuannya terperangkap di Rakhine.

Sementara, anak laki-laki dan menantu mereka telah meninggalkan Myanmar dengan perahu ke negara-negara tetangga. Sekitar 75 ribu warga Rohingya mempertaruhkan nyawa mereka di tengah lautan, berharap kehidupan lebih baik daripada di Rakhine, Myanmar.

sumber : ap
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement