Sabtu 15 Mar 2014 08:47 WIB

Melestarikan Tradisi Pesantren (4-habis)

Seorang santri membersihkan koleksi Kitab Kuning di Pondok Pesantren Petuk, Kediri, Jawa Timur.
Foto: Antara/Arief Priyono
Seorang santri membersihkan koleksi Kitab Kuning di Pondok Pesantren Petuk, Kediri, Jawa Timur.

Oleh: Rosita Budi Suryaningsih  

Kitab kuning yang legendaris

Dalam sistem pembelajaran pada pondok pesantren Salafiyah, ada metode untuk belajar kitab kuning. Kitab ini merupakan kitab-kitab berbahasa arab tanpa harakat atau yang biasa disebut dengan Arab gundul.

Menurut pengamat pendidikan Islam dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Abdullah Nata, di dalam kitab kuning,  berisi tentang tafsir hadis, aqidah, tasawuf, atau akhlak, ilmu kalam, fikih, sejarah, dan kebudayaan Islam, dan pelajaran bahasa Arab serta turunannya seperti nahwu, shorof, balaghah, dan lainnya. Terdapat pula ilmu sastra, cerita, dan hikayat juga dongeng di dalamnya.

Kitab tersebut dikenal dengan kitab kuning karena kertas yang digunakan sejak dulu berwarna kuning. Dulu belum ada jenis kertas berwarna putih seperti sekarang ini. Kertas yang berwarna kuning menjadi pilihan sebagai bahan untuk tulisan kitab-kitab kajian bagi para santri.

Pencetakan kitabnya pun hanya menggunakan alat sederhana, dengan tata letak tampilan yang monoton dan kaku. Tak juga dijilid dengan rapi, tetapi hanya diberikan sampul dengan kertas yang lebih tebal dan dijilid seadanya. Di masa lalu, kitab kuning ini sudah terhitung bagus jika dibandingkan harus membaca naskah asli dengan tulisan tangan.

Keterangan lain yang diperoleh dari laman salaf.web.id, menyebutkan warna kuning dianggap lebih nyaman dan mudah dibaca dalam keadaan redup. Zaman dulu, saat penerangan masih terbatas, para santri terutama yang ada di desa-desa biasa membaca kitab dengan pencahayaan seadanya kala malam hari.

Meski kini penerangan listrik sudah ada, kitab dengan kertas warna kuning ini masih bertahan, demi melestarikan tradisi. Namun, kini juga tersedia kitab dengan isi yang sama dengan kitab kuning ini, tetapi dicetak menggunakan kertas HVS warna putih, bahkan dengan tampilan digital melalui komputer dengan format pdf. Meski demikian, harga kitab yang menggunakan kertas berwarna kuning, jauh lebih murah.

Isi dari kitab kuning adalah hasil karya ilmiah para ulama di masa lalu. Salah satunya adalah kitab fikih, yang merupakan hasil kodifikasi dan istimbath hukum yang bersumber dari Alquran dan sunah.

Para santri mempelajari kitab ini dengan bimbingan kiai di pesantren tempatnya belajar. Kemudian, pemahaman atas kitab tersebut diajarkan kepada masyarakat. Biasanya, setiap pesantren punya kiai yang ahli pada salah satu kitab kuning.

Misalnya, pondok pesantren Tebu Ireng yang dikenal ahli dalam kitab Hadis Shahih Bukhari. Meski satu pondok pesantren punya spesialis keahlian, ilmu-ilmu dan kajian yang lain tetap diajarkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement