Selasa 11 Mar 2014 14:59 WIB

KH M Zaini Abdul Ghani, Membentengi Spiritualitas Muslim Banjar (1)

KH Muhammad Zaini Abdul Ghani.
Foto: Blogspot.com
KH Muhammad Zaini Abdul Ghani.

Oleh: Nashih Nashrullah     

Jasa Guru Ijai memperkuat spiritualitas masyarakat Banjar akan lekat di lubuk hati segenap umat.

Bagi masyarakat Kalimantan, terutama Martapura dan Banjarmasin, nama Tuan Guru Ijai tidak lagi asing, bahkan melegenda dan melekat dalam ingatan mereka.

Pemilik nama lengkap KH Muhammad Zaini Abdul Ghani itu terkenal sebagai sosok karismatik yang tidak hanya unggul dalam bidang agama, tetapi juga peduli terhadap sosial.

Putra pertama dari pasangan Abdul Ghani bin H Abdul Manaf bin Muhammad Seman dengan Hj Masliah binti H Mulya bin Muhyiddin lahir dari keluarga yang menjunjung tinggi ajaran agama.

Garis keturunan nasab Guru Sekumpul, begitu akrab disapa, sangat terhormat dan terjaga. Ia adalah keturunan ke-8 tokoh besar Banjar, Maulana Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari.

Qusyairi, demikian sapaan kecil sang tokoh, mendapat didikan langsung dari kedua orang tuanya. Didikan inilah yang membentuk karakter Qusyairi kecil sebagai pribadi yang memiliki sifat penyabar, ridha, dan penuh kasih sayang.

Hidup dalam kesederhanaan, justru menempa dirinya kuat menghadapi berbagai cobaan, termasuk agar ia bersikap qanaah. Menghindari keluh kesah yang tak berujung.

Qusyairi kecil terbiasa untuk hidup seadanya, bahkan kekurangan. Sebuah kisah diriwayatkan bahwa sewaktu kecil ia terbiasa makan satu nasi bungkus dengan lauk satu biji telur yang dibagi untuk empat, yaitu ayah, ibu, ia sendiri, dan adiknya, Hj Rahmah.

Selain kedua orang tuanya, sosok nenek, Salbiyah, berkonstribusi pula dalam proses pendidikan Guru Ijai. Asupan tauhid, akhlak, dan kedisiplinan mereka berikan kepadanya serta ilmu agama lainnya, seperti membaca Alquran.       

Sosok kelahiran Martapura Timur, 11 Februari 1942, itu mendapat anugerah yang luar biasa dari Sang Khalik berupa kecerdasan otak. Ia mampu menghafal Alquran pada usia tujuh tahun ketika ia mulai masuk ke pendidikan madrasah di Madrasah Ibtidaiyah Darussalam, Martapura, tepatnya pada 1949.

Cerita tentang daya ingatannya yang kuat itu pun tersohor ketika ia berhasil menghafal kitab //Tafsir Jalalain dalam usia sembilan tahun. Pada 1955, ketika berusia 13 tahun, Qusyairi melanjutkan ke jenjang menengah pertama di lembaga yang sama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement