Oleh: Nashih Nashrullah
Ketua Umum Rabithah Haji Indonesia (RHI) Ade Marfuddin, menilai positif keberadaan KBIH untuk memberikan pemahaman kepada jamaah haji. Hanya saja, ia mencatat ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan.
Di antaranya, KBIH harus memaksimalkan masa tunggu calhaj tersebut sebagai peluang untuk mempersiapkan jamaah haji yang lebih mandiri. Ini mesti didukung dengan pemberian materi yang lebih luas dan komprehensif. “Tidak hanya saat berhaji, tetapi juga sebelum,” katanya.
Ia menyayangkan, tak semua KBIH memiliki standar bimbingan yang sama. Sekalipun sebagian KBIH yang tergabung dalam asosiasi memiliki standar itu. Jika jumlah mereka ratusan, maka masih terdapat ribuan lagi KBIH yang belum mengantongi standar itu.
Acuan sertifikasi itu, katanya, alangkah lebih baiknya ditetapkan oleh pemerintah. Jangan sampai memunculkan benturan antara satu kelompok dan kelompok yang lain. Fakta di lapangan menguatkan kekhawatiran itu.
Perbedaan tata cara beribadah kerap memunculkan gesekan. Sebagai contoh, mayoritas jamaah akan berhaji tamattu. Ketentuan haji jenis ini lebih dekat dengan mazhab Syafi'i. Sekiranya pemerintah memberlakukan standar itu, bukan berarti mazhab yang lain dianulir.
Di sinilah, mestinya peran KBIH berada. KBIH bukan sekadar memungut biaya tanpa optimalisasi bimbingan kepada jamaah. “Poin ini harus diperhatikan,” katanya.
Pengamat haji, Subarkah, mengatakan, standar bimbingan itu bagaimanapun sangat diperlukan. Berdasarkan pengalaman di Tanah Suci, tugas tersebut justru kurang terlihat dari KBIH.
Ia menggarisbawahi, bimbingan materi itu bukan sekadar pemberian materi yang berkaitan dengan ibadah saja. Namun, juga harus menyangkut pemberian bekal agar para jamaah mandiri selama berada di Tanah Suci. Seperti penggunaan air, pendidikan agar tidak tersesat, dan lain sebagainya. “Jangan fokus (hanya) pada syariat,” katanya.